ADA sebuah studi menarik awal 2000-an tentang gender, seks, dan korupsi. Dua riset ini, dikutip dari
Modul 8 Corruption and Gender yang diterbitkan
UNODC (
.pdf), dilakukan oleh Bank Dunia; riset pertama yang dilakukan Dollar dkk (1999) menyoroti beberapa negara menemukan bahwa semakin banyak perempuan di parlemen, semakin rendah tingkat korupsi.
Sementara itu, riset kedua yang dilakukan Swamy dkk (2001) menemukan korelasi serupa. Ketika meneliti berbagai jenis partisipasi perempuan secara lebih mendalam, peneliti menemukan bahwa negara-negara dengan lebih banyak perempuan di parlemen, di posisi menteri, dan angkatan kerja, ternyata memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami korupsi.
Bahkan, secara khusus, peneliti juga menganalisis data survei mikro di perusahaan swasta di Georgia. Perusahaan-perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh perempuan lebih cenderung melaporkan bahwa “mereka tidak pernah memberikan suap” dan “perempuan cenderung memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap korupsi”.
Memang tidak dimungkiri bahwa korupsi dilakukan baik oleh lelaki maupun perempuan. Namun dikutip dari buku "Saya, Perempuan Anti Korupsi" (SPAK) yang dirilis KPK, perempuan memiliki standar perilaku etis dan kepedulian pada kepentingan umum yang lebih tinggi. Hasil ini sejalan dengan teori psikologi dan sosiologi tentang penyimpangan yang menyatakan bahwa perempuan memang memiliki kecenderungan lebih taat aturan daripada laki-laki, tutur Direktur Diklat Antikorupsi KPK Dian Novianthi dalam artikel “
Tugas Suci Perempuan dalam Memberantas Korupsi”.
Hanya saja, fenomena kasus-kasus korupsi dua dekade terakhir, perempuan justru terlibat di dalamnya—antara menjadi pelaku dan korban korupsi itu sendiri. Data yang dikeluarkan KPK dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017 menyebutkan, antara 2007 hingga 2017, terdapat 78 orang pemimpin perempuan yang terlibat kasus korupsi, dimulai dari tersangka hingga terpidana. Hal itu menunjukkan keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintahan tidaklah selalu progresif meskipun dibukanya keran keterlibatan itu semula bertujuan baik, tulis
Kompas.id dalam artikel “Perempuan dan Korupsi dalam Bingkai Politik Indonesia”.
Kelemahan perempuan di beberapa bidang kehidupan juga membuat mereka rentan terhadap korupsi dibandingkan lelaki yang menikmati lebih banyak kekuasaan dan perlindungan.
Baik laki-laki maupun perempuan terkena dampak korupsi dalam berbagai bentuknya. Namun, dalam konteks sosial, politik, organisasi atau budaya, perempuan lebih tidak berdaya dibandingkan lelaki dan perempaun adalah korban langsung korupsi. Misalnya, dalam kasus perempuan ditekan untuk membayar suap, mereka sering kali kurang mampu menerima suap dibandingkan lelaki atau kurang memiliki kekuasaan dan wewenang untuk menolak tekanan tersebut.
Salah satu risiko utama korupsi yang berdampak langsung terhadap perempuan dan anak perempuan adalah korupsi seksual. Menurut Lindberg dan Stensöta (2018), korupsi seksual berarti menggunakan seks dan tubuh manusia sebagai alat korupsi.
Namun, “Dalam upaya pemberantasan korupsi, perempuan justru kerap dianggap sebagai sumber masalah,” demikian dikutip dari
Kompas.id dalam “Menyoal Azab, Perempuan, dan Korupsi” (2023). Itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Di era media sosial ini, hampir semua orang menyukai
flexing (pamer) dalam bentuk apa pun. Lantaran praktik tersebut, justru penegak hukum mencium gelagat tak wajar. Tak sedikit pula istri pejabat negara menjadi pintu masuk pengusutan tindak pidana korupsi.
“Sikap istri yang boros dan suka pamer kekayaan membuat ”nila setitik rusak susu sebelanga”, perumpamaan untuk menggambarkan keadaan yang membuat pasangan jadi kehilanggan jabatan,” tutur Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK Kumbul Kusdwidjanto Sudjadi.
Di sisi lain, perempuan juga memegang peran penting dalam pencegahan korupsi. Baseline study Pembangunan Budaya Anti Korupsi Berbasis Keluarga oleh KPK pada 2012–2013 di Jogjakarta dan Solo, menunjukkan bahwa ibu berperan penting dalam penanaman/pendidikan nilai dan pembentukan karakter.
Oleh karenanya, peran perempuan dalam memberantas korupsi sangat besar karena pendidikan antikorupsi itu dimulai dari rumah. Dan, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.
“Keluarga ialah entitas sosial terkecil, yakni anggota keluarga saling belajar, saling melengkapi, dan saling tergantung. Perempuan dan keluarga yang memiliki kesadaran membangun perilaku antikorupsi tentu memiliki kontribusi dalam pencegahan tindak pidana ini,” kata Dwi Septiawati Djapar, Ketua Umum DPP Kaukus Perempuan Politik Indonesia, dalam artikel “Perempuan dan Pencegahan Korupsi” di
Media Indonesia (2020).
Menurut Dwi, bukan saatnya lagi perempuan berprinsip ikut ke mana pun, surga atau neraka. Perempuan harus memastikan bahwa dirinya dan keluarganya aman dari akibat tindak pidana korupsi yang mungkin dilakukan pasangan. “Pun saat ia yang menjabat, prinsip aman dan selamat dari perilaku korupsi harus menjadi pegangan,” tulisnya.
Dampak langsung korupsi bagi perempuan
Menurut UNODC, dampak langsung korupsi bagi perempuan mencakup:
#Kehilangan akses layanan kesehatan dan pendidikan
Dalam kasus di mana perempuan berada dalam tekanan sosial, politik, organisasi, atau budaya, sering kali mereka lebih tidak berdaya dibandingkan dengan laki-laki. Manakala dipaksa untuk membayar suap, acap kali perempuan juga tidak mampu melunasinya atau kurang memiliki kekuasaan dan wewenang untuk menolak. Akibatnya, perempuan berpotensi kehilangan akses layanan penting, seperti kesehatan dan pendidikan, karena tidak memiliki dana untuk membayar suap tersebut.
#Terjebak dalam pertukaran layanan seksual
Dampak ini merupakan kelanjutan dari poin sebelumnya. Tak jarang, perempuan di negara koruptif harus “menukar” tubuhnya dengan aktivitas seksual untuk mendapatkan layanan penting seperti kesehatan atau layanan sosial lainnya. Dalam cakupan UNCAC, fenomena ini disebut sebagai korupsi seksual. Satu contoh kasus di Tanzania, seorang pegawai pengadilan memaksa bawahan perempuannya untuk tidur bersamanya agar mendapat uang lembur.
#Kehilangan perlindungan hukum dan menerima pelanggaran hak asasi perempuan
Menurut UNODC, dampak lain korupsi berbasis gender bagi perempuan adalah lemahnya nilai atau status pengaduan perempuan di mata para penegak hukum. Sering kali, perempuan harus membayar suap atau melakukan korupsi seksual terlebih dahulu agar laporannya dapat diterima. Bahkan, di negara-negara yang lebih rentan atau pascakonflik, perempuan juga harus menerima hak asasinya dilanggar. Contohnya dalam bentuk pemerkosaan, kekerasan fisik, pemindahan paksa, perdagangan manusia, juga skandal seks.
Dampak tidak langsung korupsi bagi perempuan
Selain ketiga dampak yang bertalian langsung dengan gender di atas, perempuan juga mungkin menghadapi dampak tidak langsung dari korupsi berikut:
#Melemahkan pertumbuhan ekonomi dan melanggengkan kemiskinan
Temuan Bank Dunia menunjukkan bahwa korupsi hanya akan memperburuk kesenjangan yang sudah ada, sebab korupsi akan meningkatkan biaya dan hambatan terhadap barang dan jasa dasar, seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Realitanya, data PBB menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin adalah perempuan dan anak-anak.
Dengan demikian, perempuan akan lebih menderita dibandingkan laki-laki ketika korupsi melemahkan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, peluang kerja, kredit atau layanan keuangan lainnya, perlindungan hukum, maupun praktik sosial akan lebih sempit untuk perempuan. Pada akhirnya, perempuan mungkin terhalang hak-hak dasar, seperti pangan, pakaian, perumahan, layanan kesehatan dan pendidikan, serta peluang ekonomi dan kesejahteraan.
#Memiliki ketergantungan yang lebih tinggi pada layanan publik
Perempuan, khususnya perempuan miskin, akan cenderung lebih bergantung pada layanan publik dibandingkan laki-laki karena langgengnya budaya korupsi. Menurut UNODC, hal ini didasari fakta bahwa perempuan seringkali memiliki pendapatan yang lebih rendah serta lebih sedikit alternatif untuk memperoleh layanan kesehatan yang lebih mahal. Mau tidak mau, mereka akan lebih menggantungkan diri pada layanan publik yang sebetulnya sudah terdampak oleh korupsi juga.
#Melanggengkan ketidaksetaraan gender
Dalam lingkup politik, dampak tidak langsung korupsi bagi perempuan adalah diskriminasi dalam hal sumber daya, partisipasi dalam politik, serta akses terhadap jabatan tingkat tinggi dalam administrasi publik sebagai kelanjutan dari ketidaksetaraan gender. Perempuan pemilih juga lebih rentan terkena politik uang atau “serangan fajar” lantaran ada tekanan sosial.
Berdasarkan data dari negara-negara Eropa yang dihimpun oleh Sundström dan Wängnerud (2014), tingkat korupsi dan ketidakefektifan pemerintah memiliki dampak signifikan dan negatif terhadap perempuan yang terpilih menjadi anggota dewan. Sebab, para pengambil keputusan yang didominasi oleh laki-laki mungkin dapat melanggengkan siklus diskriminasi gender untuk kebijakan dan program pemerintah yang menguntungkan perempuan.
Yuk, #KawanAksi saatnya perempuan menjadi penggerak dan pendobrak birokrasi yang melanggengkan praktik korupsi. Mari gaungkan gerakan nilai-nilai antikorupsi. [*]