SUATU kali Ciputra terima laporan penjualan bisnis propertinya.
Bangunan di perumahan Citra Garden sold out. Bagian sales bangga dagangan propertinya laku keras.
Harganya pun semua sama, baik di lokasi yang baik maupun yang “tusuk sate”.
Mendengar laporan itu, konglomerat real estate itu–dikenal luas sebagai pendiri PT Pembangunan Jaya dan Metropolitan Development–justru tak senang.
Ia tak mau perusahaannya berjualan dengan cara begitu. Kok bisa “rumah tusuk sate” harganya sama dengan rumah berlokasi baik?
“Saya bilang, kita tidak bisa seperti itu,” ujarnya.
“Saya perintahkan kepada staf penjualan untuk memberikan potongan harga kepada pembeli rumah tersebut (tusuk sate, red).”
Pembeli rumah tusuk sate itu akhirnya dapat potongan harga dari yang dibayarkan. “Inilah yang disebut sebagai integritas,” ia menuturkan dikutip dari Resep Bisnis Ciputra (2018).
Integritas di mata Ciputra adalah bukan mengejar profit semata-mata, tapi bagaimana memberi manfaat bagi orang lain. “Bisnis yang saya kembangkan harus bermanfaat, baik bermanfaat bagi orang-orang yang bekerja kepada saya dan masyarakat luas,” ujarnya.
Memaknai integritas bisa macam-macam. Tidak ada definisi tunggal tentang integritas. Namun, gambaran cerita Ciputra itu menunjukkan sikap adil; salah satu dari
sembilan nilai integritas yang dikampanyekan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat “Jumat Bersepeda KK”: jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras.
Integritas
Berdasarkan
Kamus Kompetensi Perilaku KPK, integritas diartikan sebagai kesesuaian antara tindakan, perilaku, dan ucapan berdasarkan pada nilai-nilai yang dianut, seperti kode etik, moral, norma, dan hukum yang berlaku.
Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, integritas sangat penting dimiliki oleh siapa saja, termasuk pedagang atau pebisnis.
Mengapa penting? Sebab sejak dulu bisnis sering dianggap profesi yang hanya mengejar untung belaka; dianggap bertentangan dengan norma-norma luhur, seperti keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab.
“Akibatnya, para pebisnis atau pedagang sering dicurigai. Kecurigaan tersebut barangkali dilatarbelakangi oleh upaya-upaya pebisnis atau pedagang dalam merealisasikan bisnis—menghalalkan segala cara yang berujung pada kerugian konsumen,” tulis L. Sinour Yosephus dalam Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer (2010).
Oleh karenanya, kata dia, meski bukan merupakan keutamaan moral tertinggi, “Kejujuran merupakan salah satu normal moral umum yang memberi arti kepada norma-norma atau keutamaan-keutamaan moral umum lainnya,” tutur Yosephus.
“Secara tegas dapat dikatakan, tanpa kejujuran semua keutamaan atau normal-norma moral umum lainnya akan kehilangan nilainya. Apakah artinya menolong orang (peduli) jika tidak dilandasi kejujuran? Bukankah itu identik dengan kemunafikan.”
Jujur artinya terbuka, tanpa kedok atau tidak berusaha menyembunyikan keaslian diri sendiri. Orang jujur selalu bebas dari kedokisasi. Ia tampil apa adanya, bukan menampakkan wajah ganda.
Menurut Yosephus, pebisnis yang menempatkan keuntungan di atas segala-galanya tentu akan menganggap norma-normal moral sebagai kendala, setidaknya bersifat relatif terhadap upaya pencapaian bisnis. Mereka inilah, dalam perspektif Yosephus, “Sosok-sosok pebisnis yang piawai dalam hal lobi dan kolusi…melakukan tindakan-tindakan bak tukang pukul atau tukang tembak sesaat,” katanya.
Etika bisnis
Bicara integritas berarti bicara etika. Etika dari bahasa Yunano kuno ethos yang berarti watak, sikap, atau cara berpikir.
Dalam buku Etika Bisnis: Membangun Kesuksesan Bisnis Melalui Manajemen dan Perilaku Bisnis yang Beretika (2016) disebutkan bahwa etika memiliki konsep pemahaman yang berlandaskan pada lima isu umum, a.l. suap (bribery), pemaksaan (coercion), tindakan manipulasi atau menipu (deception), mencuri (theft), dan perlakuan tidak adil (unfair discrimination).
Maka, etika ini penting dipegang oleh para pebisnis di tiap usahanya. Perjalanan organisasi bisnis sangat dipengaruhi oleh etika atau integritas invididu-individu di dalamnya.
Setidaknya, dalam buku tersebut disebutkan, ada 15 prinsip umum etika bisnis yang harus dipegang pebisnis, yaitu jujur, adil, saling menguntungkan, integritas moral, kewajaran, memiliki etika pada alam dan lingkungan, menaati aturan, sadar atas hak dan kewajiban, bermartabat, tanggung jawab, memelihara janji, kesetiaan, saling menghormati, dapat dipertanggungjawabkan, dan profesional.
Contoh bisnis tidak berintegritas
Berikut sejumlah contoh praktik nirintegritas dalam berbisnis yang jamak ditemui di masyarakat:
Manipulasi timbangan
Kecurangan berdagang masih marak di masyarakat. Salah satu contohnya, manipulasi alat timbangan. Jadi, setiap hasil menimbang, pedagang menampilkan bukan bobot asli barang dagangan, semisal berat asli barang satu kilogram, lalu dimanipulasi menjadi 900 gram.
Perbuatan itu jelas merugikan pelanggan, bahkan bisa didenda dan masuk penjara. Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 Pasal 258 tentang Ukuran Takaran Timbangan dan Perlengkapannya,
disebutkan bahwa barang siapa yang memalsukan ukuran atau takaran anak timbangan atau timbangan sesudah dibubuhi tanda tera dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai barang tersebut seolah-olah asli dan tidak dipalsukan maka diancam pidana paling lama tiga tahun.
Jual barang tidak sesuai/cacat
Kini bisnis daring, e-commerce, sedang naik daun. Hanya saja, tidak semua pedagang di toko daring berlaku jujur. Barang yang dikirim ternyata cacat atau tidak sesuai dengan yang dipajang di platform.
Mengacu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa konsumen memiliki hak memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar, kondisi, dan jaminan yang dijanjikan.
Selain itu, pelanggan juga memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur terkait barang tersebut, hak didengar pendapat dan keluhannya atas barang yang digunakan, dan hak mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya.
Untuk itu, kalau ada pelanggan yang memberikan keluhan terkait barang yang tidak sesuai, pedagang wajib untuk menggantinya barang tersebut dengan yang baru karena itu adalah hak pelanggan.
Tidak jujur dalam pembayaran
Seiring dagang elektronik, maka muncullah sistem pembayaran elektronik atau cashless alias nontunai.
Meski sudah dimudahkan, kesalahan bayar bisa saja terjadi saat transaksi berlangsung. Contoh yang kerap terjadi adalah kelebihan bayar. Maka, pedagang dalam kasus ini, harusnya mengembalikan segera uang kelebihan bayar tersebut. Tak sedikit pedagang daring yang menipu atau menolak refund. Atau, telah menerima pembayaran, tapi barang tidak dikirimkan kepada pembeli.
Dalam Pasal 1359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menyebutkan setiap pembayaran mengandalkan adanya suatu utang; apa yang telah dibayar tanpa diwajibkan untuk itu, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan bebas yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali.
Adapun Pasal 1360 KUHPer disebutkan, barang siapa secara sadar atau tidak menerima sesuatu yang tidak harus dibayar kepadanya, maka wajib mengembalikannya pada orang yang memberikannya.
Oleh karenanya, pedagang wajib untuk menanamkan nilai integritas di dalam diri supaya tidak merugikan pelanggan. Tak hanya pedagang, pemilik perusahaan pun wajib untuk memiliki nilai integritas ketika menjalankan perusahaan dengan tetap taat pada peraturan.
Misalnya, selalu taat membayar pajak dan hindari menyuap pelayanan publik dengan tujuan supaya perusahaan dibebaskan dari pembayaran pajak, tidak terjun dalam praktik “saham gorengan”.
Mari, sama-sama kita terapkan integritas dalam berdagang maupun berbisnis supaya tidak terjerumus pada korupsi. Bersama
ACLC KPK, mari berantas korupsi di Indonesia! [*]