BEGITU argumen ilmuwan politik Samuel Huntington, yang terkenal lewat teori Benturan Peradaban (Clash of Civilization) mengapa korupsi di era modern justru kian besar dari masa sebelumnya.
Menurut Huntington, dikutip dalam Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (B. Herry Priyono: 2018), pesatnya kemajuan industri dan bisnis menciptakan kaum kaya baru.
“Korupsi menjadi jembatan penghubung antara kelompok yang punya kekuasaan dan kelompok yang punya harta,” katanya. Yang satu menjual kekuasaan politik untuk memperoleh harta, yang lain menjual harta untuk mendapatkan kekuasaan politik.
Itulah yang membuat rusak tatanan politik. Ditambah lagi musim elektoral atau pemilu, pemilik kuasa dan harta “membeli” suara rakyat—serangan fajar—demi ambisi menang, tanpa peduli kesejahteraan rakyat. Implikasi kongkalikong ini jelas berimbas pada kehidupan sosial, politik, ekonomi masyarakat.
“Di parlemen atau dewan perwakilan,” kata Huntington, “pembuatan undang-undang menjadi lahan subur korupsi. Ia melanjutkan, “Dalam masyarakat yang ditandai korupsi luas, pembuatan undang-undang antikorupsi yang secara tegas malah memicu berkembang biaknya kesempatan korupsi.”
Namun, kerja-kerja keras Komisi Pemberantasan menangkap para koruptor, tak membuat jera pelaku lain. Catatan KPK sepanjang 2022 menunjukkan sebanyak 149 orang terlibat korupsi. Jumlahnya naik 17,23 persen dibandingkan tahun sebelumnya berjumlah 127 orang.
Eskalasi tersebut menandakan adanya peningkatan kinerja KPK sebagai lembaga antirasuah. Namun, pertambahan jumlah orang-orang yang ditindak tersebut berbanding terbalik dengan tingkat persepsi atau anggapan masyarakat mengenai korupsi di jabatan publik dan politik.
Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International pada 2022 merekam Indonesia menempati posisi ke-110 dari 180 negara, dengan skor 34 dari 100. Skor ini anjlok empat poin dari sebelumnya; setara dengan IPK Indonesia pada 2014.
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Wawan Suyatmiko, menuturkan, skor IPK 2022 tersebut penurunan paling drastis sejak 1995. Ini menandakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik dan politikus kian terkikis.
Kerusakan kehidupan sosial akibat korupsi
Selain tingkat kepercayaan publik yang menurun, korupsi juga memberikan implikasi yang luar biasa terhadap kehidupan bermasyarakat, antara lain:
- Keruntuhan sektor publik dan swasta
Dalam Module Series on Anti-Corruption UNODC disebutkan, efek kumulatif dari tindakan korupsi individu adalah disfungsi atau hilangnya fungsi sektor publik dan swasta. Dalam jangka panjangnya, praktik korupsi yang masif juga berimplikasi menurunnya kualitas barang dan jasa: makin mahal, sulit, dan timpang untuk didapatkan oleh masyarakat. Ini terjadi lantaran pejabat publik alih-alih memenuhi tanggung jawab dalam melayani masyarakat dengan baik, mereka hanya lebih sibuk memperkaya diri dan kelompoknya saja.
- Kemiskinan dan ketidaksetaraan pendapatan
You dan Khagram (2005), dikutip dari Modul Integritas Bisnis 3: Dampak Sosial Korupsi, menuliskan, tingkat pendapatan masyarakat memiliki pengaruh terhadap perilaku korupsi masyarakat itu sendiri. Pasalnya, orang kaya lebih memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk melakukan suap dibandingkan dengan orang miskin.
Hal itu berarti “orang kaya mampu memindahkan sumber daya publik ke tangan para koruptor”. Ketika sistem politik dan ekonomi digunakan untuk melayani para koruptor, kekayaan akan didistribusikan kembali kepada pihak-pihak yang paling tidak membutuhkan. Akibatnya, terjadi ketidaksetaraan pendapatan atau ketimpangan kesejahteraan hidup masyarakat.
Kenaikan angka kriminalitas sebagai salah satu kerusakan kehidupan sosial akibat korupsi. Kesimpulan ini diambil dari pendapat Transparency International, bahwa tingkat kejahatan memiliki kaitan erat dengan praktik korupsi.
Dalam risetnya, TI mendapati kenaikan angka korupsi akan diikuti oleh kenaikan angka kejahatan dan begitu pula sebaliknya. Jika angka korupsi turun, kejahatan pun berkurang sehingga kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum menjadi lebih baik.
- Impunitas dan keadilan parsial
Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menyatakan, budaya atau kebiasaan korupsi yang telah merasuki sistem peradilan sebuah negara akan menghanguskan kepercayaan masyarakat kepada jaksa dan hakim.
Pasalnya, mereka yang berkuasa dapat lolos dari keadilan. Sebaliknya, warga negara, terutama yang tidak memiliki modal maupun simpatisan yang kuat, dapat dituduh melakukan kejahatan secara tidak adil, tanpa melewati proses hukum, dan dipenjara begitu saja.
Ketika korupsi, khususnya atas uang negara, menjadi suatu hal yang biasa, polarisasi kelompok yang berlawanan di masyarakat tak terelakkan. Muncul kelompok masyarakat yang mendukung rezim korup versus para pengusung nilai-nilai antikorupsi.
Kehadiran kedua kelompok yang saling berlawanan tersebut berpotensi menimbulkan pertikaian dan ketidakadilan terhadap kebijakan-kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan yang timbul bukan lagi berdasarkan ideologi atau manfaat untuk publik, tetapi pada siapa pendukung kebijakan dan manfaat apa yang dapat diperoleh.
- Frustrasi dan sinisme publik
Dampak lanjutan dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan sistem sosial (lembaga-lembaga publik) adalah penurunan partisipasi politik masyarakat.
Saat pemilu, jumlah golongan putih akan bertambah karena rasa frustrasi masyarakat pada para pemangku jabatan.
Frustrasi masyarakat kepada para koruptor dapat mendorong mereka untuk berperilaku koruptif. Pada akhirnya, masyarakat juga lebih mungkin untuk mengambil bagian dalam transaksi yang koruptif, tulis Köbis (2018) dalam Effects of Corruption.
Beberapa kerusakan di atas tentu saja dapat menghancurkan sebuah negara jika tidak dihentikan atau dilawan. Untuk itu, setiap insan seharusnya memegang teguh nilai-nilai integritas dalam menjalani hidup ini.
Dengan menerapkan sifat-sifat jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras atau dikenal dengan slogan "Jumat Bersepeda KK", setiap individu dapat menghindarkan diri dari perbuatan korupsi.[]