GOLPUT. Istilah ini selalu muncul mendekati hari-hari pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Golput atau golongan putih selalu diidentikkan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik; akhirnya tidak memilih untuk berangkat ke TPS untuk mencoblos.
Istilah golput naik daun ketika menjelang Pemilu 1971. Pada sebuah siang, Kamis (3 Juni 1971), sekelompok mahasiswa, pemuda dan pelajar meriung di Balai Budaja Djakarta. Mereka memproklamirkan berdirinya "Golongan Putih" sebagai gerakan moral. Di antara tokoh-tokoh yang menjadi motor gerakan itu, seperti Adnan Buyung Nasution dan Arief Budiman, tulis Kompas, 5 Juni 1971.
"Kelompok ini merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah politik formal waktu itu," demikian dikutip dari buku Arief Budiman Tukang Kritik Profesional (2020).
“Mereka menyeru orang-orang yang tidak mau memilih partai politik dan Golkar untuk menusuk bagian yang putih (yang kosong) di antara sepuluh tanda gambar yang ada.”
Setelah bertahun-tahun sejak itu, Arief mengatakan, dirinya melahirkan gerakan golput karena Pemilu 1971 digelar tidak demokratis: pemerintah membatasi jumlah partai. Sebetulnya istilah golput datang dari rekan Arief, Imam Waluyo yang ikut dalam gerakan itu.
Apa itu golput? Ya, sebuah pilihan dari warga negara yang telah masuk sebagai pemilih untuk tidak memilih atau ikut dalam pemilu. Mereka tidak menggunakan hak suara dalam pemilu.
Dari tahun ke tahun, golput selalu menjadi persoalan. Karena tidak semua keputusan golput berangkat dari gerakan moral atau idealisme yang murni. Pemilu pasca Reformasi, orang menjadi golput juga bukan karena idealisme, tapi kondisi yang memaksa dirinya tak mencoblos.
Angka golput pada Pemilu 2019 termasuk yang terendah dibandingkan pemilu sebelumnya sejak 2004. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah masyarakat yang golput pada 2019 sebanyak 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar. Sementara, pada 2014, jumlah golput sebanyak 58,61 juta orang atau 30,22 persen.
Pada Pemilu 2024, pemilih yang terdaftar didominasi oleh pemilih muda. Berdasarkan data KPU, terdapat 56,4 persen pemilih muda dapat pemilu 2024, yang artinya sudah melebihi setengah dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sayangnya, berdasarkan hasil survei Centre for Strategic and International (CSIS), sebanyak 11,8 persen responden memilih untuk golput.
Penyebab Golput
Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang memilih golput atau menjadi tidak bisa mencobolos, antara lain:
Masyarakat yang bersikap apatis terhadap politik menjadi salah satu penyebab tingginya angka golput. Masyarakat dengan tipe seperti ini tidak lagi peduli dengan urusan politik, bahkan tidak juga mencari tahu apa itu golput dan risiko jika memilih untuk golput pada setiap pemilu.
Ketidakpedulian serta ketidakpercayaan masyarakat tersebut muncul karena mereka merasakan bahwa tidak ada dampak positif yang terjadi padanya setelah pemilihan. Sementara, berita korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin serta wakil rakyat semakin meningkatkan apatis masyarakat terhadap para pejabat.
Padahal, golput tidak akan menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Justru dengan menggunakan hak pilih saat pemilu, maka masyarakat bisa memilih pemimpin berintegritas dan antikorupsi sehingga pemerintahan dapat dijalankan secara bersih, antikorupsi, adil, dan merata.
Masyarakat harus bisa menciptakan pemerintahan yang berintegritas dengan berani menolak politik uang menjelang pemilu. Bersikap jujur pada diri sendiri dan dengan berani menolak politik uang dalam bentuk apapun akan menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan peduli pada rakyatnya.
Pemberitaan pemilu di media massa atau media sosial, ternyata tidak membuat semua orang mengetahui tanggal pasti diadakannya pemilu. Pada Pemilu 2019, hasil survei LSI yang diadakan sebulan sebelum hari pencoblosan menunjukkan mayoritas tidak mengetahui tanggal pasti diadakannya pemilu.
Dari 1.200 responden, 29,5 persen menyatakan tidak tahu bahwa April akan diadakan pemilu, sedangkan 24,2 persen yang bisa menjawab bulannya, tidak dapat menjawab tanggal pasti diadakannya pemilu.
Di masa penyelenggaraan pemilu, KPK turut berperan serta dalam menyosialisasikan dan mengajak masyarakat untuk menjadi pemilih yang cerdas agar dapat memilih calon pemimpin yang berintegritas. Contohnya dengan menolak serangan fajar dan tidak memilih pemimpin maupun partai politik yang memberikannya.
Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya untuk memberikan suara di hari pemilu. Sayangnya, keterbatasan yang dimiliki seringkali menghambat mereka dalam mencoblos. Misalnya tidak ada bantuan untuk pergi menuju ke lokasi TPS dan tidak tersedianya surat suara khusus bagi disabilitas.
Padahal, jumlah pemilih disabilitas pada 2019 mencapai 1,2 juta orang. Di Yogyakarta, banyak disabilitas tidak bisa mencoblos karena masalah mobilitas. Selain itu, banyak juga TPS yang tidak ramah disabilitas karena harus melewati anak tangga sehingga sulit bagi pengguna kursi roda.
Nah, #KawanAksi sebagai masyarakat yang berintegritas bisa membantu dan lebih peduli pada masyarakat dengan kondisi disabilitas. Misalnya, ada kenalan atau tetangga #KawanAksi yang mengalami kesulitan karena keterbatasannya, maka bisa diajak pergi bersama atau diberi bantuan panduan untuk memilih agar tetap bisa menggunakan hak suaranya.
Menciptakan negara yang bersih dari korupsi bukan hanya tanggung jawab pemimpin saja, tetapi juga tanggung jawab kita semua. Dengan memilih pemimpin berintegritas yang antikorupsi, maka Indonesia bisa menjadi negara yang bersih dari berbagai jenis tindak pidana korupsi.
Golput dan pemerintahan berintegritas
“Kan cuma satu suara, jadi seharusnya tidak berpengaruh?”
Terkadang pemikiran seperti ini juga menjadi pemicu tingginya golput. Padahal, satu suara bisa menjadi penentu kemenangan pihak tertentu dan bisa mengubah negara ini agar lebih baik lagi.
Tingginya golput pada suatu negara bisa memberikan berbagai dampak negatif pada negara tersebut, antara lain:
Program kerja terganggu
Program kerja sebaiknya juga menjadi salah satu poin penting yang dilihat saat menentukan pemimpin berintegritas yang akan dipilih. Program kerja yang baik tidak hanya fokus pada kemajuan negara saja dari segi infrastruktur maupun ekonomi, tetapi juga memiliki nilai-nilai integritas dan antikorupsi. Sayangnya, sebaik apapun program kerja yang ingin dilakukan, tidak akan optimal jika angka golput tinggi. Sebab, tingginya angka golput menunjukkan bahwa sekalipun seseorang terpilih, tetapi tidak cukup mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Terganggunya demokrasi dalam negara
Negara demokrasi artinya negara yang melibatkan seluruh warganya dalam membuat dan mengambil keputusan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Namun, tingginya golput menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi merasa adanya demokrasi, melainkan apatis terhadap orang yang dicalonkan.
Memberi kesempatan partai penguasa menang
Masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih partai politik serta calon pemimpin dengan visi, misi, serta program kerja terbaik untuk menjadi pemimpin. Namun, ketika kesempatan tersebut diabaikan, sementara ada parpol yang memiliki banyak pendukung setia terus diajak untuk memilih, maka parpol tersebut akan berkesempatan menang. Tidak peduli apakah parpol tersebut berkualitas atau tidak, tetapi karena memiliki jumlah suara yang tinggi maka partai tersebut yang berhasil memenangkan pemilu.
Untuk bisa menjadi negara yang lebih baik, diperlukan dukungan dari masyarakat itu sendiri. Yuk, pahami lebih dalam apa itu golput dan menghindarinya agar #KawanAksi bisa ikut berperan membawa perubahan bagi negara. Caranya dengan kenali para peserta pemilu dan memilih calon pemimpin berintegritas![]