PADA sekitar 1999, Amien Rais, tokoh reformis kala itu, menyebut bahwa mesin birokrasi di Indonesia sesungguhnya menjadi mesin KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang sangat produktif; sejak mengurus KTP hingga hak pengusahaan hutan (HPH) tidak pernah terbebaskan dari KKN.
“Dari skala semut sampai skala gajah, maka KKN akan selalu menyertai proses birokrasi di Indonesia,” tulis Amien Rais dalam kata pengantarnya untuk buku Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia (Hamid dan Sayuti, 1999).
Saking geramnya dengan fenomena KKN, Amien bahkan dengan keras mengatakan, dalam sudut pandang agama, seseorang yang memberikan toleransi pada perilaku KKN, “Maka, tidak berlebihan jika dikatakan seseorang tersebut harus diragukan keimanannya,” katanya.
Sementara itu, sejarawan Taufik Abdullah mengatakan KKN adalah konsep-konsep yang hanya bisa dikenakan dalam konteks organisasi, bisa berupa perusahaan, partai politik, dan, tentu saja, negara.
Sampai sekarang, kasus-kasus korupsi-kolusi-nepotisme masih ada. Seolah-olah, pelaku tak benar-benar belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Sekali diberantas satu, justru bermunculan lagi di banyak instansi.
Pengertian korupsi dan contohnya
Dalam bahasa Latin, korupsi berasal dari kata corruptio artinya rusak, busuk (kata benda). Kata kerjanya yaitu corrumpere yang artinya merusak, membusuk, menyogok, atau memutarbalik.
Transparency International (TI), organisasi yang setiap tahun merilis angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK), mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, mau politikus atau pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi.
Selain merugikan secara finansial, menurut TI, korupsi juga mengikis kepercayaan, melemahkan demokrasi, menghambat pembangunan ekonomi, serta semakin memperparah ketidaksetaraan, kemiskinan, perpecahan sosial, dan krisis lingkungan.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan korupsi adalah tindakan melawan hukum yang dilakukan seseorang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Undang-undang menyederhanakan tindak pidana korupsi menjadi tujuh kelompok, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Adapun contoh-contoh dari tujuh kelompok tindak pidana korupsi ini adalah sebagai berikut: - Kerugian keuangan negara: pegawai pemerintah yang melakukan mark up anggaran agar mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut.
- Suap-menyuap: pihak swasta yang memberikan sejumlah uang kepada pegawai pemerintah agar dimenangkan dalam proses tender.
- Penggelapan dalam jabatan: pegawai perawatan mobil dinas mengambil sisa uang perawatan yang seharusnya dikembalikan ke kantor.
- Pemerasan: pegawai pemerintah yang menetapkan biaya tertentu untuk pengurusan dokumen penduduk yang sebenarnya gratis.
- Perbuatan curang: pemborong bangunan dalam proyek pemeringah menggunakan material kualitas rendah, padahal janjinya material kelas 1.
- Benturan kepentingan dalam pengadaan: pegawai pemerintah mengatur sedemikian rupa agar perusahaan saudara/teman/keluarga bisa menang dalam tender.
- Gratifikasi: pengusaha memberikan barang mewah untuk pejabat dengan harapan mendapat proyek dari instansi pemerintahan.
Pengertian kolusi dan contohnya
Sejarawan Taufik Abdullah dalam artikel KKN: Sebuah Pendekatan Kultural (Hamid dan Sayuti, 1999) menuturkan, KKN adalah konsep baru dalam konteks negara modern. Khusus kolusi, ia menyebut hal itu sebagai bentuk kerja sama untuk mendapatkan keuntungan yang tak sah dari milik publik atau negara.
Paul A. Samuelson (1999) mendefinisikan kolusi sebagai perjanjian di antara beberapa perusahaan untuk bekerja sama dalam menaikkan harga dan membagi pasar yang berakibat pada pembatasan persaingan bebas.
Satu contoh praktik, misalnya, kartel tujuh maskapai penerbangan yang diputuskan bersalah oleh KPPU pada 2020 silam. Untuk menghindari kolusi, setiap pelaku bisnis sepatutnya mengimplementasikan program bisnis berintegritas:
- Komitmen untuk tidak memberikan uang pelicin, suap-menyuap.
- Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan.
- Melaporkan indikasi tindak pidana korupsi; pemerasan, bentuk pungli lainnya yang dilakukan oknum regulator dan penegak hukum.
Pengertian nepotisme dan contohnya
Guru Besar Antropologi UGM Sjafri Sairin (1999) mengutarakan bahwa pada hakikatnya nepotisme adalah mendahulukan dan membuka peluang bagi kerabat atau teman-teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi-posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi orang lain.
Adapun contoh tindakan nepotisme adalah mengutamakan pengisian lowongan pekerjaan untuk kerabat atau teman sendiri tanpa mengikuti prosedur rekrutmen tenaga kerja yang sesungguhnya. Kalaupun ada prosedur rekrutmen, statusnya hanya formalitas belaka.
Penjelasan di atas dapat menggambarkan bahwa gejala penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme itu tidak terjadi hanya berdasarkan lemahnya iman dan kejujuran pelaku, melainkan juga karena adanya kesempatan dan lemahnya struktur negara yang tidak dapat membendung keserakahan manusia.
Itulah mengapa #KawanAksi sepatutnya memegang 9 nilai integritas yaitu jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras atau yang disingkat dengan “JUMAT BERSEPEDA KK” supaya terhindar dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dengan memegang teguh kesembilan nilai ini, #KawanAksi pastinya akan berpikir berulang kali ketika tebersit keinginan atau tawaran untuk melakukan KKN. #KawanAksi juga bisa mengunjungi situsweb ACLC KPK sebagai upaya untuk menambah lebih banyak wawasan seputar antikorupsi.[]