Kepala Badan Pengembangan SDM Jawa Timur Ramliyanto mengaku bersyukur adanya diklat antikorupsi untuk para ASN di Jatim.
Ia mengatakan Jatim termasuk provinsi pertama yang memasukkan pendidikan antikorupsi atau insersi kurikulum di pelatihan-pelatihan baik manajerial maupun teknis atau fungsional di BPSDM.
Menurut dia, jika ingin mengukur integritas seseorang, pernahkah orang tersebut berada dalam situasi yang memungkinkan tindakan fraud. “Kalau enggak pernah, dia belum teruji. Ini salah satu pendekatan yang biasa dipakai untuk asesmen,” katanya.
Ia mengatakan, aparatur sipil negara hampir selalu berhadapan dengan kondisi fraud. Setidaknya penyebab ASN melakukan tindakan menyimpang karena tiga faktor berdasarkan teori Fraud Triangle yang diperkenalkan oleh Donald Cressey dan W. Steve Albrecht, antara lain pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization (rasionalisasi).
Oleh karenanya, potensi-potensi tersebut harus dihambat. “Dan, pelatihan seperti ini saya kira luar biasa agar ASN tahu dan sadar kemudian melakukan hal-hal baik ke depan,” katanya.
Agister S, peserta dari Dinas Penanaman Modal dan PTSP Jatim, mengaku baru pertama kali mengikuti pelatihan antikorupsi. Menurutnya, pelatihan ini sangat bagus karena bisa menambah pengalaman dan pengetahuan dirinya yang bekerja di bagian keuangan.
“Saya berharap pelatihan ini bisa membuat saya pribadi menjadi lebih baik lagi. Saya akan menularkan materi-materi yang saya dapatkan ini kepada rekan-rekan kerja di kantor,” katanya.
Sementara itu, Shauman Dunia, dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Jatim, menuturkan, pelatihan yang diikutinya ini benar-benar membuka wawasan bagi dirinya tentang korupsi dari sudut pandang KPK, dari diri sendiri, dan masyarakat.
“[Pelatihan seperti] ini harus disebarluaskan. Wajib bagi seluruh ASN,” ujarnya.
Di sisi lain, ia mengusulkan, agar dicari metode-metode yang tepat untuk diterapkan pula kepada anak-anak usia dini. Tindak pidana korupsi, katanya, betul-betul harus dihindari karena bisa merusak bangsa.
Shauman mengaku sangat terkesan dengan materi gratifikasi dan konflik kepentingan. Apalagi dirinya mengaku pernah bekerja di bagian pengadaan sehingga dua hal ini perlu diwaspadai dan diidentifikasi secara hati-hati.
“Konflik kepentingan itu awal dari tipikor. Sesuatu yang sederhana ini perlu hati-hati menyikapinya,” ujar Shauman.
Terkait konflik kepentingan, menurutnya, biasanya tidak tertera dalam regulasi, maka jika mengalami hal seperti ini setiap individu harus kembali pada etika dan moral.
“Saya pikir ini perlu disampaikan sedini mungkin. Pendidikan dini agar membangun etika dan moral kepada anak-anak,” katanya.[]