MARAKNYA korupsi di Indonesia membuat persepsi yang seringkali muncul di masyarakat, bahwa korupsi telah menjadi budaya. Persepsi ini jelas keliru karena tidak ada satu bangsa atau negara mana pun di dunia ini yang menjadikan korupsi sebagai budaya.
Spesialis Diklat Antikorupsi KPK Aries Ricardo Sinaga menuturkan, korupsi terjadi karena tiga faktor, yaitu kesempatan/peluang, tekanan, dan rasionalisasi. Ia mengingatkan kembali tentang segitiga teori fraud triangle yang dikenalkan Donald Cressey pada 1953.
Sekadar diketahui, dalam teori yang berakar dari sosiologi ini terdapat tiga kondisi yang memicu terjadinya kecurangan atau kejahatan: tekanan (masalah dilematis), peluang (kurangnya kontrol internal), dan rasionalisasi (membenarkan tindakan).
Tak sedikit, kata Aries, korupsi terjadi karena adanya pembenaran dari perilaku koruptif. “Membiasakan perilaku koruptif ini, nanti jadi bibit-bibit korupsi, karena faktor rasionalisasi dari tindakan, [muncul pemikiran]: ‘ah kan cuma sedikit’,” katanya saat menjadi narasumber dalam talkshow di RRI Samarinda, Kalimantan Timur, pada 25 Juli 2023. RRI kerap bekerja sama dengan forum penyuluh antikorupsi menyelenggarakan sosialisasi nilai-nilai integritas. Ini sebuah peluang bagi paksi untuk melakukan aksi penyuluhan.
“Oleh karenanya, hal seperti itu harus dicegah. Tindakan lain yang perlu dihindari pula seperti flexing (pamer) kekayaan, no luxury goods. Karena hal-hal seperti ini juga membuat kecemburuan sosial.”
Aries mengatakan, terkait pemberantasan korupsi umumnya masyarakat hanya tahu tentang operasi tangkap tangan atau penindakan saja. Padahal, selain penindakan yang berfungsi untuk membuat jera pelaku, ada dua pendekatan yang dilakukan juga tak kalah gencarnya dilakukan oleh KPK, yaitu pencegahan dan pendidikan.
Pendekatan pencegahan lebih memfokuskan pada perbaikan sistem sehingga mencegah terjadinya tindakan koruptif. Sementara itu, pendekatan pendidikan melalui penyuluhan antikorupsi, salah satunya, mencetak individu-individu yang kompeten untuk menjadi penyuluh di masyarakat. Mereka adalah Penyuluh Antikorupsi (Paksi) dan Ahli Pembangun Integritas (API) yang tersertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi KPK.
Peran para penyuluh antikorupsi (Paksi) sangat diperlukan untuk terus menyebarkan nilai-nilai integritas atau antikorupsi. "Misalnya, kami kenalkan dengan hidup sederhana, tidak flexing harta, tidak ingin dilayani, dan lain-lain," ujar Aries.
Dalam kesempatan itu, Koordinator Forum Penyuluh Antikorupsi Kalimantan Timur (KOMPAK Kaltim) M. Zamroji Almursyid juga turut menjadi narasumber. Ia menuturkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang sangat tercela dan racunnya merusak semua orang. “Korupsi ini bisa dilakukan oleh siapa saja,” katanya. “Inilah kenapa korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa.”
Melalui forum yang baru dikukuhkan akhir Juli lalu itu, Zamroji mengajak masyarakat Kaltim untuk melawan korupsi. Forum tersebut terdiri atas orang-orang yang secara sukarela dan berkesadaran penuh beraksi memberikan efek positif di masyarakat dengan penyebaran nilai-nilai integritas. “Dalam penyuluhan, kami menyasar PAUD, sekolah dasar hingga sekolah menengah,” tuturnya.
Ada sembilan nilai integritas yang dikenalkan oleh KPK yaitu Jumat Bersepeda KK (jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras).
Selain penyuluhan goes to school, “Kami juga melakukan podcast mini melalui Instagram live, nanti masyarakat bisa follow IG kami (@kompakkaltim). Silakan follow kami,” ia menambahkan.
Forum Kompak, katanya, sangat terbuka dengan siapa saja yang ingin mengundang sebagai narasumber tentang pendidikan antikorupsi.
Kompetensi para penyuluh antikorupsi yang tergabung dalam Forum Kompak Kaltim telah tersertifikasi melalui Lembaga Sertifikasi Prestasi KPK. Sertifikasi Paksi ini memiliki masa berlaku hingga tiga tahun dan harus diperbarui kembali melalui prosedur sertifikasi ulang (RCC).[]