Tujuh poin tersebut, antara lain pertama, konteks penting. Dalam poin ini, peneliti harus menyertakan konteks. Bagaimanapun AI membutuhkan konteks yang jelas dalam prompt untuk menghasilkan output yang relevan.
Poin kedua, informasi tambahan. Untuk mendapatkan kualitas jawaban AI yang lebih baik, sertakan data spesifik, contoh demografi. Ketiga, bahasa spesifik. Saat menuliskan instruksi, pakailah kata atau kalimat yang tegas agar AI memahami permintaan dengan jelas.
Berikutnya, keempat, kata kunci. Saat memasukkan kata-kata kunci yang relevan dalam menulis prompt, efeknya ialah AI akan fokus pada perintah itu. Kelima, pertanyaan terbuka. Gunakan pertanyaan yang luas untuk mendapatkan jawaban yang lebih rinci.
Poin keenam, contoh relevan. Berikan contoh yang spesifik untuk mendapatkan hasil yang sesuai. Terakhir, poin ketujuh, kreasi prompt yaitu lakukan modifikasi dan trial and error untuk mencapai hasil terbaik.
Untuk lebih mendapatkan hasil terbaik dari prompt, Master Agus mengatakan, harus sering-sering berlatih membuat prompt. Jadikan, “Prompt sebagai teman ngobrol karena ini lebih bagus daripada nonton TikTok—(ChatGPT) ini guru, kita enggak usah bayar,” ujarnya.
Ia juga menegaskan agar membuat prompt dengan menempatkan AI sebagai subjek. Misal, di awal perintah cantumkan subjek atau profesi, “sebagai ahli hukum pidana, akademisi, peneliti reviewer jurnal bereputasi, pegiat antikorupsi...” barulah selanjutnya diisi instruksi lanjutan yang diinginkan.
Setelah semua bahan didapat melalui bantuan AI, Master Agus menjelaskan, tahapan berikutnya adalah “meraciknya”-nya. Di sinilah, seorang peneliti harus melalui empat tahap: membaca kembali teks, menghilangan teks yang tak relevan, menjelaskan kembali ide, dan menuliskan teks kembali.
Muncul pertanyaan dari peserta, AI memungkinkan terjadinya hasil prompt yang tidak valid alias halusinasi AI. Menyikapi hal ini, Master Agus juga doktoral hukum UNS ini tak menutup mata bahwa AI bisa keliru.
Oleh karenanya, hasil tulisan AI harus cek dan ricek kembali dengan aplikasi AI detector agar tulisan tidak dianggap melanggar syarat dan ketentuan jurnal ilmiah.
Ia menambahkan, pemanfaatan AI dalam penelitian ilmiah juga perlu disebutkan dalam laporan riset, misal, data diambil dari Scopus AI, sebagai bentuk pertanggung jawaban.
Menurut dia, ChatGPT memang bagus dalam hal pola menjawab, tapi jangan begitu saja percaya dengan data yang disertakan. Ia menyarankan data yang tertampil tetap dicek kembali, misalnya, melalui Google Scholar. Atau, bila referensi yang ingin dikutip lebih valid, lebih baik menggunakan referensi di Scopus; di sini telah disediakan Scopus AI.[]