PERILAKU jujur tidaklah serta-merta dimiliki oleh setiap individu. Nilai integritas ini harus selalu diajarkan.
Begitu disampaikan Dosen Psikologi Universitas Paramadina Alfikalia dalam diskusi daring bertajuk “Pengasuhan Anak untuk Integritas demi Menyekolahkan Anak” pada Minggu (28 Juli 2024).
Acara diadakan kolaborasi antara Penyuluh Antikorupsi Sinergi Untuk Film Integritas (PAK SUFI), Komunitas Ya Penyuluh Ya Pendongeng (YaPiYaPo), dan ForPAK Banten.
Master Lia, sapaan akrabnya sebagai penyuluh antikorupsi, mengatakan, internalisasi (penanaman) sebuah nilai tidaklah mudah karena butuh proses dan waktu.
Karena melakukan sebuah nilai juga bukan sesuatu yang gampang, “Melakukan jujur kan tidak mudah. Nilai ini berasal dari luar individu bisa melalui orangtua, melalui sosialisasi dan lain-lain, artinya ada yang ngajari” katanya.
“Jadi, tidak ujug-ujug kita menjadi jujur. Tapi, ada pembelajaran.”
Meski kajian sebagian ahli psikologi, katanya, menyebutkan bahwa setiap individu sebetulnya memiliki gen nilai-nilai moral. Hanya saja, nilai-nilai moral itu berkembang dan bergantung pada masyarakatnya.
Master Lia menjelaskan nilai yang terinternalisasi dalam setiap individu akan tersimpan dalam koginisi. Nilai ini menjadi penuntun kehidupan individu tersebut, menjadi motivasi bagi tindakan, dan menjadi standar mengevaluasi perilaku, peristiwa, dan dampak dari keputusan oleh individu.
Karena nilai-nilai itu tidak serta-merta terintegrasi dalam diri tiap individu, menginternalisasinya pun butuh proses. Internalisasi nilai ini bisa dilihat melalui Self-Determination Theory. Dalam teori ini disebutkan salah satunya tentang proses internalisasi dari motivasi ekstrinsik (extrinsic motivation).
Empat tahapan internalisasi tersebut, antara lain (1) external regulation. Tahap ini, seseorang melakukan nilai integritas, misal jujur, karena termotivasi oleh hadiah (reward) atau ingin menghindari hukuman (punishment). Seseorang melakukan jujur bukan karena kesadaran diri. Bila tidak ada hadiah, sangat mungkin ia melanggar nilai tersebut.
Selanjutnya (2) introjected regulation. Tahap ini, seseorang melakukan nilai integritas karena ada tekanan, demi menghindari rasa malu/bersalah, atau sebatas memenuhi norma masyarakat. “Jadi, ada perasaan enggak enak,” kata Master Lia.
Tahap ketiga, internalisasi itu semakin dalam dan menjadi (3) identified regulation. Artinya, nilai telah dikenali dan disadari oleh individu sebagai sesuatu penting. Oleh karenanya, nilai itu diterima dan dilakukan karena diyakini baik.
Terakhir (4), integrated regulation menjadi tahapan internalisasi paling matang. Nilai tersebut, seperti jujur, sudah terintegrasi dengan tujuan diri individu tersebut, sehingga ketika ia berperilaku jujur, sifat itu berjalan secara otonom.
“Semakin terinternalisasi nilai moral, semakin nilai tersebut dapat tercermin dalam perilaku nyata,” kata Master Lia.
Sebaliknya, “Semakin eksternal nilai moral, semakin besar kemungkinan perilaku tidak sejalan dengan nilai.”
Sementara itu, Penyuluh Antikorupsi Master Sari Mulyati, sebagai narasumber kedua, memandang nilai kejujuran harus selalu diajarkan oleh lingkungan terdekat, seperti keluarga. Orangtua memiliki peran dalam mengajarkan bahwa berbohon adalah baik melalui contoh.
“Keluarga ini unit terkecil komunitas, itu awal anak-anak diberikan sosialisasi, menerapkan nilai-nilai jujur, mulai dengan yang sederhana,” katanya.
Anak berbohong
Bagaimana sikap orangtua ketika mengetahui anaknya berbohong? Master Lia mengatakan orangtua perlu menjalin dialog dengan anak. Orangtua bisa menanyakan mengapa anak berkata tidak jujur, apa yang memotivasi perbuatan itu, lalu ajak anak untuk berpikir dampak dari berbohong.
“Di situlah, penanaman nilai bisa melalui contoh. Jangan sampai nyuruh anaknya jujur, tapi orangtua malah berbohong. Karena anak belajar dari modelling. Ada beberapa metode pengenalan nilai, seperti melalui reward & punishment, diskusi, contoh, atau partisipasi,” kata Master Lia.
Oleh karenanya, ketika mendapati anak berperilaku tidak jujur, peran orangtua adalah pengawasan. “Perlu konsistensi pengawasan orangtua, karena anak-anak itu belum bisa membentuk regulasinya sendiri—peran orangtua itu co-regulator, membantu membentuk regulasi anak. Nanti, semakin anak tumbuh dewasa, dia akan membentuk regulasinya sendiri,” katanya.