Saat dia memberi pelatihan di Fakfak, Papua Barat, Edi menceritakan, para peserta terlihat sangat tersentuh dengan kisah-kisah integritas tokoh bangsa, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim, Baharuddin Lopa, dan lain-lain.
Edi sehari-hari bekerja di Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Manajemen Pemerintahan, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, tapi berkedudukan di Makassar, Sulawesi Selatan.
Selain sebagai pengajar diklat, Edi juga aktif sebagai penyuluh antikorupsi. Ia telah mendapatkan sertifikasi Paksi sejak 2018. Pengalaman menyuluh yang berkesan saat dirinya ke Soppeng, Sulsel. “Pertama kali memakai jaket Paksi, tiba-tiba dikasih telur asin. Saya menolak karena ini gratifikasi. Akhirnya, teman yang ambil,” tuturnya.
Menurut dia, memakai rompi Paksi adalah sebuah tanggung jawab. Memakainya berarti ada tanggung jawab besar. Cibiran-cibiran sudah pernah dialami Edi.
Selama 10 tahun menjadi widyaiswara, banyak tantangan yang dihadapinya, termasuk godaan integritas. Namun, selama ini ia mengaku masih bisa menghindarinya karena sebagai pengajar diklat sudah pasti dapat honor. “Saya hampir setiap minggu memberikan diklat,” katanya. Kebanyakan diklat yang diampu dirinya diselenggarakan di Sulawesi hingga Papua.
Pernah suatu kali ada pejabat dari Raja Ampat yang meminta nomor rekening bank kepada Edi. “Ia selalu minta rekening, tapi saya tidak gubris. Gratifikasi itu paling banyak, seperti baju dan cenderamata,” katanya.
Percobaan suap itu lantaran pejabat tersebut ingin dibantu agar lulus diklat. Pelatihan-pelatihan yang diampu Edi memang sangat berkorelasi dengan posisi jabatan, termasuk kenaikan eselon.
Saat mengajar, ia tak langsung menggurui, dengan memberikan pengertian-pengertian. Ia menyadari peserta diklat adalah orang-orang berpendidikan dan pejabat.
Tak sedikit pula peserta yang tidak sependapat dengan gagasan yang diberikan. Menghadapi hal seperti ini, ia cenderung menerima pendapat itu untuk lalu didiskusikan.
Misal, bicara korupsi. Ia lebih suka dengan Politrik untuk memulai kelas integritas dan kepemimpinan. Karena baginya, “mengajar itu seperti seniman, harus pintar memainkan nada, supaya tidak sebatas tataran knowledge, tapi bisa memberikan perubahan,” kata Edi yang telah menerbitkan 20 buku, di antaranya Politik, Hukum, dan Demokrasi (2020) dan KPK dalam Sistem Peradilan Pidana (2021).
Oleh karenanya, seorang pengajar penting memiliki kemampuan menyuluh dan memotivasi, banyak membaca buku dan informasi sebagai pengembangan diri. “Sehingga banyak senjata dan amunisi,” katanya tertawa.[]