Selama ini, penguatan materi antikorupsi, kata dia, selalu diselipkan di sela-sela pengawasan atau audit ke kantor dinas atau ke kantor desa. Berdasarkan evaluasi kinerja dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, ternyata Agung dkk dinilai masih minim memanfaatkan kearifan lokal. Di situlah, ide menggunakan wayang untuk sosialisasi antikorupsi muncul.
Sebagai Paksi, Agung mengakui tak bisa secara frontal menyuarakan materi antikorupsi. Persoalannya bukan resistensi fisik yang diterimanya, melainkan budaya masyarakat yang telah bertahun-tahun menerima praktik koruptif yang menurutnya itulah tantangan tersulit yang dihadapi dirinya dan kawan-kawan.
“Berat memang. Yang kami hadapi budaya, tapi itu bukan dianggap sebuah dosa bagi mereka. Kalau kami mendobrak, bisa dikatakan aneh,” ujar Agung.
Hal yang paling umum di daerah Demak adalah praktik tak berintegritas baik pilkades maupun pemilihan perangkat desa dan penggunaan Dana Desa. Praktik suap-menyuap, pelanggaran pengelolaan Dana Desa sering terjadi. Sebagai pemeriksa keuangan, Agung tahu betul modus-modus perangkat desa dalam memanfaatkan Dana Desa untuk kepentingan pribadi.
Makanya, ketika turun ke bawah (turba) ke desa-desa, sebelum menyampaikan tugas utamanya, ia selalu mengingatkan kembali perangkat desa tentang apa itu korupsi, gratifikasi, suap-menyuap, pungli, dan benturan kepentingan (conflict interest).
Agung mengatakan, materi itu yang terus diulang-ulang setiap ke desa-desa. “Kami menyebut gratifikasi itu, babone (induknya) korupsi,” ujarnya.
Praktik koruptif memang tampak sekali di pemerintah desa. Bahkan, saat pemilihan kades dan perangkat desa, praktik suap dan gratifikasi adalah hal yang membudaya di Demak. Agung bercerita bahwa ada kepala desa yang mematok uang antara Rp200-500 juta bagi yang ingin menjadi perangkat desa.
Sementara itu, cerita lain soal kerugian uang negara. Agung mengatakan, dalam audit yang ditemukan, sebuah desa telah melanggar aturan, sehingga harus mengembalikan uang negara. Usut demi usut, Agung bersama tim menemukan, masalah itu timbul karena faktor benturan kepentingan yang terjadi ketika pemilihan perangkat desa.