oleh
M. Indra Furqon
Widyaiswara Ahli Madya KPK
BARU-baru ini, publik ramai membincangkan kasus korupsi di sektor pertambangan. Menurut dakwaan jaksa, telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 300 triliun—mengoreksi hitungan sebelumnya sebesar Rp271 triliun.
Sebagian pubik salah memahami informasi tersebut, bahwa kerugian itu benar-benar uang sebesar Rp271 triliun yang dikorupsi, sehingga menimbulkan kesan bombastis pada pengungkapan kasus tersebut.
Jika benar ada uang sebesar itu dikorupsi, tentu tidak hanya mengusik para pembayar pajak—merasa pajak yang dibayarkan oleh mereka menjadi sia-sia—tetapi juga mencederai keadilan di masyarakat yang saat ini masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.
Dalam persidangan terungkap fakta, uang sebesar itu bukanlah yang dikorupsi oleh terdakwa. Tapi, nilai itu hitungan dari berbagai faktor biaya tidak langsung atas korupsi, baik implisit maupun eksplisit. Salah satunya, biaya kerusakan lingkungan; konsep ini juga dikenal sebagai biaya sosial korupsi. Biaya kerusakan lingkungan dihitung oleh ahli lingkungan hidup, lalu dikonversikan dalam bentuk nilai rupiah.
Perjalanan kasus itu akhirnya bermuara pada keputusan hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 23 Desember 2024. Salah satu terdakwa, yaitu Harvey Moeis divonis pidana 6,5 tahun penjara dan ganti rugi sebesar Rp210 miliar.
Vonis hakim yang sangat ringan tersebut, sebetulnya sudah sangat mencederai rasa keadilan di masyarakat. Lebih menggelikan lagi, pertimbangan hakim yang memberikan putusan ringan, salah satunya: kesopanan. Apakah semakin sopan terdakwa, maka semakin menjadi ringan hukumannya?
Ternyata, tidak cukup keadilan di masyarakat dicabik-cabik karena vonis yang ringan. Selanjutnya, terungkap fakta baru terkait subsidi, bahwa terdakwa terdaftar sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBD BPJS Kesehatan dari Pemerintah Provinsi Jakarta sejak 2018.
Meski berbagai alasan diungkap oleh siapapun yang berwenang untuk menerbitkan kepesertaan terdakwa di BPJS Kesehatan, tetap saja tidak masuk di akal manusia manapun: orang kaya raya dan sangat mampu diberikan bantuan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan. Padahal, dengan kekayaan yang dimilikinya, terdakwa mungkin bisa membiayai perawatan rumah sakit untuk ratusan orang, dan mungkin terdakwa bisa bangun rumah sakit sendiri, tapi tetap masuk dalam golongan PBI dan diberikan bantuan iuran BPJS.
Merujuk Pasal 1 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, disebutkan: "Penerima bantuan iuran jaminan kesehatan yang selanjutnya disebut PBI jaminan kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program jaminan kesehatan." (tebal, red).
Jelas sekali bahwa terdakwa tidak masuk kriteria, lantas siapa yang memasukkan namanya sebagai salah satu penerima bantuan sosial? Ini salah satu contoh subsidi yang tidak tepat sasaran, salah kaprah, pemborosan! Jangan-jangan masih banyak lagi peserta BPJS lain yang kaya raya dan mampu, tapi menerima bantuan iuran ini?
Ini baru bicara subsidi melalui bantuan iuran kepesertaan BPJS. Bagaimana dengan subsidi lain?
Kita ambil contoh misalnya subsidi tabung gas ukuran 3 kg atau “gas melon” untuk masyarakat miskin. Sebetulnya tdak perlu ada perdebatan terkait hal ini karena terpampang jelas dan tegas dengan huruf cetak melekat di tabung: "hanya untuk masyarakat miskin".
Siapapun yang tidak buta huruf bisa membacanya, tidak tersembunyi hurufnya dan tidak kecil-kecil tulisannya seperti tulisan yang biasa kita temui di klausul syarat dan ketentuan berlaku di dokumen kontrak atau perjanjian. Pun, jika memang tulisannya sudah hilang atau sudah terhapus, tidak menghilangkan subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk setiap tabungnya.
Jika ada yang berdalih: boleh menikmati karena peruntukan tabung gas melon untuk rumah tangga dan usaha mikro, hendaknya membaca aturan secara utuh dan membaca pasal demi pasal secara jujur, bukan untuk mencari pembenaran . Gunakan akal budi dan kewarasan atas nama intektualitas kaum terpelajar.
Disebutkan pada Pasal 1 ayat 4 Peraturan Presiden No. 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram, bahwa: "Rumah tangga adalah konsumen yang mempunyai legalitas penduduk, menggunakan minyak tanah untuk memasak dalam lingkup rumah tangga dan tidak mempunyai kompor gas untuk dialihkan menggunakan LPG Tabung 3 kg termasuk tabung, kompor gas beserta peralatan lainnya."
Simpulannya, “rumah tangga” yang dimaksud dalam kriteria boleh menggunakan tabung gas melon yaitu bukan untuk seluruh rumah tangga, tapi rumah tangga yang tadinya menggunakan minyak tanah untuk memasak. Ibarat ada dermawan yang hendak berderma bagi anak yatim di panti asuhan, kemudian kita datang meminta bagian dengan berdalih anak yatim, padahal kita sudah dewasa, berkeluarga dan bekerja.
Sangat disayangkan sebagian publik, yang berasal dari keluarga mampu, terpelajar, dan pendapatannya lebih dari cukup untuk kebutuhan sekunder dan tersier masih menggunakan tabung gas melon. Padahal, mereka tidak dalam kondisi kesulitan untuk sekadar membeli makanan pokok buat keluarga.
Mengapa masih mengambil hak masyarakat miskin? Alasan pembenaran apa yang bisa mengabaikan hati nurani dan tanpa rasa peduli tetap menikmati hak masyarakat miskin?
Di sisi lain, sangat perlu juga ada perbaikan dalam distribusi tabung gas subsidi di lapangan agar merata dan tepat sasaran. Karena ketidakmerataan distribusi ini juga salah satu sebab kelangkaan tabung gas. Ini seharusnya berlaku pula untuk distribusi tabung gas nonsubsidi 12 kg—tak jarang juga terjadi kelangkaan. Alhasil, mereka yang mampu justru menggunakan gas melon.
Jika kita tidak termasuk golongan rumah tangga miskin, sesuai kriteria yang ditentukan, maka biasakanlah yang benar dengan mengikuti aturan yang ada. Jika kita tergolong orang mampu, gunakan yang nonsubsidi. Inilah aktualisasi dari integritas: jangan hanya sekadar slogan dan manis di bibir saja. []