Oleh Aldi Wahyu Pradana, Penyuluh Antikorupsi dan Fasilitator Direktorat Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi KPK RI
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi masyarakat terbesar yang ada di Indonesia. Organisasi yang dibidani oleh KH. Hasyim Asy’ari dan beberapa ulama terkemuka tersebut akan genap mencapai usia 100 tahun jika mengacu pada kalender Hijriah yakni, 16 Rajab 1444 Hijriah yang berarti bertepatan pada tanggal 7 Februari 2023 mendatang.
Di usianya yang genap satu abad, tidak dapat dipungkiri NU sudah banyak berkontribusi untuk bangsa Indonesia di segala bidang. Berbicara mengenai NU, tentu nama Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur selalu memiliki tempat tersendiri bagi para Nahdliyin dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Gus Dur merupakan Ketua Umum PBNU selama tiga periode (1984-1994) sekaligus Presiden Republik Indonesia pertama yang dipilih oleh parlemen pasca tumbangnya rezim Orde Baru.
Semasa hidupnya, terlepas dari kontroversinya sebagai manusia, tentu banyak hal yang dapat diambil dari sosok Gus Dur terutama ihwal integritas. Maka pada momentum menuju satu abad NU ini, perlu rasanya masyarakat merefleksikan kembali apa yang telah Gus Dur wariskan kepada masyarakat Indonesia.
Masa jabatan Gus Dur sebagai Presiden relatif sangat singkat (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001) dibandingkan dengan Presiden Indonesia lainnya. Namun dengan waktu yang singkat tersebut, Gus Dur sedikit banyak berhasil mengubah “wajah” Indonesia yang sebelumnya karut-marut pada era Orde Baru.
Nahas bagi Gus Dur, Orde Baru telah mewarisi pemerintahannya dengan berbagai macam konflik yang serius. Ancaman Balkanisasi mengintai Indonesia saat itu, yakni terpecahnya kelompok etnis dan budaya. Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjadi perhatian serius masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa, masih menjadi momok pasca reformasi ketika itu.
Menurut Artidjo Alkostar, salah satu penyebab seseorang melakukan korupsi adalah lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika. Peraturan mengenai pemberantasan korupsi yang dibentuk oleh era Orde Baru kala itu sekadar peraturan tanpa aksi nyata. Era Orde Baru menjalankan kebijakan politik secara terpusat dan cenderung ditopang oleh kekuatan oligarki yang dikenal dengan istilah ABRI, Golkar dan Birokrasi (ABG). Hampir semua yang berada dalam kabinet kala itu adalah teman dekat dari Presiden Soeharto.
VIrdika Rizky Utama dalam buku “Menjerat Gus Dur” (2019) menyebutkan, bahwa Gus Dur sangat serius menumpas korupsi di Indonesia. Sebagai strateginya dalam mewujudkan pemberantasan KKN, Presiden Gus Dur melakukan “bersih-bersih” birokrasi dengan menempatkan orang-orang yang memiliki kredibilitas dalam hal keahlian dan kebugaran moral. Sebab bagi Gus Dur, tanpa adanya kedua hal tersebut, birokasi yang bersih sebagai cita-cita reformasi akan sulit terwujud.
Gus Dur pun langsung bergerak cepat dalam memproses koruptor kelas kakap era Orde Baru. Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah pada 31 Maret 2001, ketika Jaksa Agung Marzuki Daruzman menetapkan dan menahan Ginandjar Kartasasmita mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam kasus melawan hukum persetujuan Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dan PT Ustraindo Petrogas (UPG) pada sumur minyak di Bunyu, Jatibarang.
Gus Dur juga kala itu membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) guna mempercepat proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski pada akhirnya, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi, melalui judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.
Peran Gus Dur selanjutnya saat menjabat sebagai Presiden ialah menghapus segala bentuk diskriminasi agama. Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang merupakan kebijakan penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Begitu pula dengan agama Konghucu, yang akhirnya diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri No. 447/805/Sj yang membatalkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 446/74054 Tahun 1978.
Hadirnya Keppres yang diteken Gus Dur berdampak besar bagi warga Tionghoa. Di masa Orde Baru, warga Tionghoa mengalami kebekuan dalam menggunakan bahasa dan aksara Mandarin. Namun setelah Keppres yang diteken Gus Dur terbit, ruang kebebasan terbuka lebar bagi warga Tionghoa. Tidak ada lagi larangan untuk belajar menggunakan bahasa ibu mereka, mendirikan sekolah ataupun membuat surat kabar berbahasa Mandarin oleh etnis Tionghoa.
Gus Dur saat menjadi Presiden pun memilih hidup dengan sederhana, jauh dari kata glamor. Bahkan menurut Mahfud MD dalam bukunya “Setahun Bersama Gus Dur” (2003), Gus Dur memilih untuk tidak mengambil gajinya. Gaji pertama Gus Dur diberikan kepada Alwi Shihab, yang kala itu menjadi Menteri Luar Negeri, dan gaji kedua diberikan kepada AS Hikam yang menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) untuk membeli sepatu dan jas. Gus Dur melakukan semua itu karena menganggap fasilitas yang tersedia untuknya sebagai Kepala Negara sudah lebih dari cukup.
KPK telah merumuskan sembilan nilai integritas, yaitu jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil dan kerja keras atau dikenal sebagai “Jumat Bersepeda KK”. Nilai-nilai integritas tersebut tersemat dan telah ditunjukkan oleh Gus Dur dalam tindak tanduknya memimpin negeri. Gus Dur seharusnya dapat menjadi teladan keseharian bagi kita para generasi penerus bangsa, agar cita-cita kemerdekaan Indonesia tidak dianggap sebagai utopia belaka.