Oleh Niāmatur Rohmah, Mahasiswa di Denpasar, Bali
Saat memasuki dunia perkuliahan, banyak mahasiswa baru yang antusias untuk aktif, tidak hanya di kegiatan akademik, namun juga dalam kegiatan non-akademik seperti organisasi kemahasiswaan. Tujuan mereka bergabung dalam organisasi adalah untuk melatih soft-skill sekaligus bekal memasuki dunia kerja. Namun sayangnya, di dalam organisasi kampus, banyak mahasiswa yang terseret ke dalam lingkaran setan korupsi. Praktik-praktik korupsi berjalan dengan mulus dan mengakar menjadi sebuah budaya di dalamnya.
Sudah menjadi rahasia umum jika anggota organisasi turut serta dalam praktik korupsi. Korupsi yang biasa dilakukan oleh organisasi kemahasiswaan yaitu manipulasi anggaran dalam pembuatan proposal kerja atau pencairan dana kegiatan organisasi kemahasiswaan. Lantas bagaimana nasib Indonesia jika generasi penerusnya seperti ini?
Berdasarkan hasil diskusi dengan mahasiswa aktif anggota organisasi kemahasiswaan di beberapa Perguruan Tinggi di Jawa Timur dan Bali, didapatkan informasi bahwa sebagian besar organisasi tersebut melakukan praktik korupsi. Alasan korupsi mereka berbeda-beda, mulai dari yang murni ingin mendapatkan uang untuk memenuhi gaya hidup atau terpaksa karena tuntutan senior di organisasi eksternal. Tuntutan tersebut dialamatkan kepada anggota organisasi eksternal yang juga menjadi organisasi internal kampus seperti BEM, MPM, maupun HMJ. Tujuannya, agar mereka mendapatkan uang dari hasil pencairan anggaran kegiatan organisasi kampus, yang kemudian disetorkan ke senior di organisasi eksternal untuk menambah anggaran mereka. Dengan kata lain, organisasi internal kampus telah ditunggangi oleh organisasi eksternal.
Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk organisasi kemahasiswaan di setiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN), namun otoritas pengelolaannya dilaksanakan oleh masing-masing kampus. Tak tanggung-tanggung, anggaran tersebut berjumlah fantastis hingga puluhan juta rupiah, oleh karena itu banyak anggota organisasi kemahasiswaan yang berebut untuk bisa mencairkan anggaran tersebut. Salah satu cara untuk mencairkan dana adalah dengan membuat program kerja di organisasi.
Dalam proposal program kerja, mereka memanipulasi anggaran agar mendapat nominal yang cukup banyak ketika pencairan. Untuk itu, perlu adanya kerja sama antaranggota, atau bahkan seluruh anggota organisasi bersekongkol untuk menyukseskan praktik korupsi ini. Saat anggaran sudah cair, mereka menggunakan sistem bagi hasil.
Selain mahasiswa, fakta lain menunjukkan bahwa terdapat oknum di birokrasi yang ikut serta memainkan anggaran untuk organisasi kemahasiswaan. Saat organisasi kemahasiswaan cenderung pasif atau tidak ada kegiatan, maka anggaran akan dimanipulasi juga oleh mereka. Namun, hal tersebut dapat dilakukan jika bekerja sama dengan mahasiswa. Jadi, lagi-lagi mahasiswa terlibat dalam praktik korupsi.
Jika budaya korupsi ini tidak segera diberantas, maka mereka akan terus memupuk budaya korupsi ini hingga diturunkan ke adik-adik tingkat, dan bahkan dibawa hingga ke dunia kerja, sehingga terciptalah seorang koruptor.
Berdasarkan realitas mengerikan yang ada tersebut, maka menyelamatkan mahasiswa dari lingkaran setan korupsi di lingkup kampus tingkat urgensinya sangat tinggi. Pendidikan antikorupsi yang bersifat teoritis tidak akan membantu menumpas praktik-praktik korupsi di kampus. Perlu adanya tindakan yang lebih nyata seperti pengontrolan secara tegas terhadap organisasi kemahasiswa untuk menumpas praktik-praktik korupsi di lingkup kampus.
Pembentukan lembaga di bawah naungan KPK yang dikhususkan untuk mengawasi organisasi kemahasiswaan mungkin perlu adanya, karena memberantas korupsi di negeri ini harus dilakukan dari akar-akarnya. Mahasiswa yang melakukan praktik-praktik korupsi di kampus itulah akarnya, sebab mereka adalah cikal bakal koruptor di negeri ini.
Jika dilihat dari sejarahnya, budaya korupsi merupakan warisan dari masa kolonial. Pada masa itu banyak pegawai pemerintahan kolonial yang melakukan praktik korupsi dan para Bumiputera mulai banyak yang meniru praktik tersebut karena memandang para pegawai korup bisa hidup mewah.
Memang tidak mudah untuk menghapus budaya korupsi baik di lingkup kampus maupun di negara ini, karena memang lingkungan sekitar melanggengkan budaya kotor tersebut dan menjadikan seseorang mau tidak mau ikut melakukan korupsi dan semakin terjerumus ke dalamnya. Namun, jika kita terus berusaha untuk mengikis budaya korupsi dan menciptakan generasi yang memiliki integritas tinggi, perlahan tapi pasti, maka Indonesia bebas korupsi dapat terwujud.