Oleh Alfian Muhammady, Hakim Pengadilan Agama Lolak, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara
Salah satu isu nasional yang paling mendapat sorotan di ranah penegakan hukum adalah persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme, di samping pelanggaran Hak Asasi Manusia dan terorisme. Terlebih sejak tiga windu yang lalu, korupsi selalu menjadi topik diskusi di ruang akademik dan ruang publik, karena menyangkut uang rakyat atau harta negara dan berpotensi menghancurkan sebuah negara apabila tidak segera diberantas. Bahkan ketika COVID-19 melanda dunia, termasuk juga Indonesia, tetap saja kita masih mendengar dan dibuat kaget dengan berita dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat pejabat publik.
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi (2015) menyebutkan, bahwa korupsi menggerogoti potensi negeri ini yang seharusnya bisa dipergunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan, karena korupsi mengakibatkan PDB per kapita yang rendah, tingkat pengangguran tinggi, tingkat pendidikan yang rendah, dan angka mortalitas ibu hamil yang tinggi. Melihat dampaknya yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat luas, tidak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) tetapi kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), sehingga penanganannya juga memerlukan cara yang luar biasa.
Salah satu strategi memberantas korupsi adalah kampanye dan edukasi, di samping strategi represif dan perbaikan sistem, ketiganya harus saling mendukung agar pemberantasan korupsi dapat berjalan lebih efektif.
Menurut Artidjo Alkostar, salah satu penyebab seorang melakukan korupsi adalah lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika. Pendapat ini senada dengan komentar Arya Maheka yang menyebutkan, salah satu penyebab korupsi adalah gagalnya pendidikan agama dan etika. Sebagian pemeluk agama masih berpaham sekularisme dengan menganggap agama tentang ritual semata dan tidak mengatur hal duniawi. Padahal agama bisa memainkan peran yang lebih besar, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya.
Jamak diketahui, agama Islam memiliki tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Secara bahasa, Iman diidentikkan dengan kepercayaan dan keyakinan, ketetapan hati, keteguhan dan keseimbangan batin sedangkan secara terminologi, Imam Al-Muzani, murid senior Imam as-Syafi'i, menjelaskan Iman adalah perkataan dan perbuatan yang tidak terpisahkan. Iman bertambah dengan perbuatan baik dan berkurang dengan perbuatan maksiat.
Ihsan secara bahasa adalah baik, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka, ketika menjelaskan surah al-Qasas ayat 77, membagi Ihsan menjadi tiga, pertama Ihsan kepada Allah, yaitu bahwa engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, meskipun tidak mungkin melihat-Nya, maka sungguh Allah melihatmu. Kedua ihsan kepada sesama manusia, yaitu hubungan yang baik, budi yang baik, dan penyelenggaraan yang baik. Ketiga ihsan kepada diri sendiri, yaitu mempertinggi mutu diri, memperteguh pribadi, guna mencapai kemanusiaan yang lebih sempurna.
Di sini kita ambil pelajaran bahwa keimanan yang sempurna teraktualisasi dalam setiap tindakan dan perbuatan sehingga membawa seseorang mencapai derajat ihsan. Pada gilirannya, ihsan akan menjadikan seseorang senantiasa berbuat baik, dan hal demikian akan menambah keimanan.
Di sisi pribadi dan sosial, terdapat kata Integritas, yakni tindakan konsisten antara apa yang dikatakan dengan tingkah lakunya, sesuai nilai-nilai yang dianut (nilai-nilai dapat berasal dari kode etik, masyarakat, atau moral pribadi). Meski setiap orang dapat memiliki nilai yang berbeda, hal itu tidak masalah, selama mengaktualisasikan nilai tersebut dengan perbuatan baik yang mendukung pemberantasan korupsi.
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2017), dalam Modul Pelatihan Dasar Calon PNS menjelaskan aktualisasi sebagai suatu proses untuk menjadikan pengetahuan dan pemahaman yang telah dimiliki menjadi ada, aktual, nyata, terjadi. Mengejawantahkan teori ke dalam praktik, mengubah konsep menjadi konstruk, menjadikan gagasan sebagai kegiatan.
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam buku Orange juice for Integrity: Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa (2014), menyebutkan ada sembilan nilai antikorupsi yang harus diaktualisasikan agar menjadi pribadi yang berintegritas, yaitu: Jujur, Disiplin, Tanggung Jawab, Adil, Berani, Peduli, Mandiri, Sederhana, dan Kerja Keras.
Kesembilan nilai antikorupsi tersebut termasuk dalam perbuatan baik yang diperintahkan Allah dalam surat al-Qasas ayat 77 yang di dalamnya juga mengandung larangan berbuat fasad. Kata fasad saat ini lazim digunakan di peradilan timur tengah untuk menyebut korupsi, jaraim/qadhiya al-fasad, sementara rasuah atau penyuapan hanyalah salah satu bentuk dari perilaku korupsi.
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa lemahnya pendidikan agama menjadi salah satu penyebab seorang melakukan korupsi, di antaranya pemahaman sekularisme sebagian pemeluk agama dengan menganggap agama hanya tentang ritual keagamaan dan tidak mengatur hal duniawi. Padahal agama adalah pedoman di setiap lini kehidupan, sehingga keimanan yang dimiliki harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan senantiasa berintegritas.
Integritas dan keimanan memiliki hubungan resiprositas. Dengan keimanan seseorang senantiasa berintegritas dan dengan berintegritas, keimanan seseorang akan bertambah. Ihsan adalah garda yang menjaga seseorang agar senantiasa berintegritas dan beriman. Oleh karenanya diperlukan integrasi agama dalam kehidupan sehari-hari.
Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan seluruh masyarakat sehingga terwujud negara yang terbebas dari korupsi, yang pada gilirannya terwujud negara madani, tercipta masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, tertib, bebas dari korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, beriman dan berilmu. Kata madani berasal dari kata Madinah, Madinah berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban. Oleh karena itu masyarakat madani berarti masyarakat yang beradab.