Oleh Eka Sugeng Ariadi, Guru Bahasa Inggris di MAN 1 Pasuruan
Anticorruption World, Make the World as a Better Place, slogan yang diunggah akun @aclc.kpk di Instagram-nya menarik disikapi. Mana yang diinginkan, menciptakan dunia baru yang bersih dari korupsi atau memperbaiki dunia yang sudah dipenuhi koruptor ini, agar bisa hidup lebih baik? Sepertinya menciptakan dunia baru pasti tidak mungkin, karena semua wilayah di dunia ini sudah ada pemiliknya. Sebaiknya, tetap bersabar menetap di dunia yang telah bersahabat dengan koruptor ini saja, sambil kita berusaha dari diri sendiri menghindari sikap-sikap koruptif.
Sebagai seorang guru di madrasah, bagi saya ide Anticorruption World, merupakan ide cemerlang untuk digaungkan. Bila beberapa hari yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan program Percontohan Desa Antikorupsi secara nasional, maka tak berlebihan kiranya saya juga mengusulkan program Percontohan Madrasah Antikorupsi (PMA). Semoga ide ini sampai di meja segenap pimpinan KPK dan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI).
PMA akan berbasis sepenuhnya pada kegiatan anak-anak atau siswa, bukan kegiatan orang dewasa atau guru. Guru hanya berperan sebagai fasilitator atau pendamping. PMA akan dijalankan oleh Duta PMA yang terdiri dari siswa-siswi pilihan, yang memiliki kecenderungan sembilan nilai antikorupsi yang lebih kuat dibandingkan teman-teman sebayanya.
Pada praktiknya, Duta PMA akan mengadakan atau menjalankan program-program yang berkaitan erat dengan kampanye budaya antikorupsi dalam konteks sebagai siswa dan bagian dari lingkungan madrasah yang sedang ditempati untuk belajar. Beberapa program tersebut antara lain: sosialisasi secara terstruktur dan berkelanjutan produk-produk KPK yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter siswa dan madrasah, berkolaborasi dengan OSIS dan guru BK (Bimbingan Konseling) dalam hal penegakkan tata tertib madrasah yang telah bermuatan sembilan nilai antikorupsi di dalamnya, menciptakan karya-karya kreatif (lagu, puisi, yel-yel, poster, video pendek, dan lain-lain) tentang budaya antikorupsi, dan masih banyak lagi program lainnya. Intinya, PMA berorientasi atau berpusat pada kegiatan siswa aktif, bukan guru aktif.
Dari sisi peran pemangku madrasah atau stakeholder, Duta PMA dapat diberikan legalitas dan penghargaan secara resmi berupa Surat Keputusan Kepala Madrasah atau Kepala Kementerian Agama Kota/Kabupaten. Lebih jauh, Kementerian Agama Kota/Kabupaten juga bisa membetuk Duta PMA pada semua lembaga pendidikan yang ada di wilayahnya.
Selanjutnya, event pemilihan Duta PMA tingkat Kota/Kabupaten, Provinsi, Nasional bisa digeber secara rutin untuk menjaga semangat dan kebanggaan menjadi bagian dari generasi antikorupsi. Sekali lagi, yang menjadi catatan penting dan pembeda dari program yang lain adalah program PMA berprinsip dari siswa, oleh siswa, dan untuk siswa. Peran guru dan lembaga pendidikan hanyalah sekadar fasilitator, bukan eksekutor.
Selanjutnya, agar program ini mengakar kuat dan berkelanjutan, tentunya program Duta PMA dapat dimulai dari sejak jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Pada akhirnya, dua institusi besar, yaitu Kemenag RI dan KPK dapat menetapkan suatu madrasah sebagai PMA dalam upaya mendidik dan menghadirkan generasi muda yang berkarakter antikorupsi bisa diandalkan.
Lantas, mungkinkah PMA akan mampu menciptakan dunia yang antikorupsi? Iya, pasti mampu. Di dunia ini, tidak ada yang tidak mungkin untuk diubah jika kita mau. Namun semua butuh waktu yang panjang, proses yang tidak sebentar, dan aksi nyata mulai dari sekarang (bukan besok, lusa, atau kapan-kapan saja). Meski di sekitar kita banyak ditemui tindakan-tindakan koruptif yang dilakukan oleh oknum pegawai pemerintah atau swasta, akan tetapi jangan sampai niat dan semangat kita melemah untuk membentuk anak-anak didik menjadi generasi yang lebih baik ke depannya.
Bila tidak sekarang, kapan lagi? Bila bukan kita, siapa lagi?