Oleh I Kadek Apdila Wirawan, Hakim Pratama pada Pengadilan Negeri Bajawa, Bali
Hakim merupakan profesi yang berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, atau advokat. Salah satu hal yang menjadi keistimewaan (privilege) seorang hakim adalah independensi dan kemandirian atau independence of the judiciary pada saat menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara.
Namun secara empirik, independensi ini senantiasa digerogoti oleh perasaan takut, cemas, hingga gaya hidup. Seorang hakim harus mampu merawat independensi serta kemandirian yang telah diberikan kepadanya untuk mengatasi perasaan tersebut. Hakim harus mampu memaknai indepedensi dan kemandirian sebagai sebuah kemewahan sehingga harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh secara akuntabel dan terukur.
Indepedensi dan kemandirian hakim dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Hal ini juga telah ditekankan semenjak bangku kuliah, tepatnya di mata kuliah Ilmu Negara pada Fakultas Hukum, bahwa lembaga peradilan yang menjadi ciri negara hukum haruslah bebas (independent) dan tidak memihak (impartial).
Pada hakikatnya, peradilan yang bebas adalah keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya dengan pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh dan campur tangan pihak lain. Indepedensi di sini terkait nilai-nilai substansial (keadilan substantif) sementara imparsial berkaitan dengan nilai-nilai prosedural (keadilan prosedural).
Selain diatur dalam Konstitusi tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan kedudukan dan kemandirian Hakim dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
Jika ditinjau dari sifatnya, maka hakim dilambangkan dalam lima sifat yaitu Kartika, Cakra, Candra, Sari, dan Tirta. Kelima sifat tersebut memiliki makna Hakim harus memiliki sifat yang berketuhanan, adil, bijaksana, berwibawa, berbudi Luhur, serta jujur.
Apabila dilihat belakangan ini, penegakan hukum di Indonesia tengah menjadi sorotan tajam masyarakat terutama di dunia maya oleh para netizen. Tak jarang komentar negatif, bully, hingga caci maki menghiasi kolom komentar di media sosial, tidak hanya terhadap kasus-kasus hukum yang sedang berlangsung, tetapi juga terhadap kasus yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Ramainya komentar ini kemudian membentuk opini publik yang menimbulkan persepsi keadilan di masyarakat.
Netizen secara bebas memberikan pandangannya di media sosial dan membentuk opini publik serta membentuk nilai keadilannya sendiri. Nilai keadilan tersebut kerap kali berseberangan dengan apa yang sesungguhnya terjadi di depan persidangan. Komentar netizen telah mengabaikan proses persidangan, alat bukti, barang bukti, pembuktian itu sendiri, hingga keyakinan Hakim.
Seorang hakim harus memiliki mental yang tangguh dalam menghadapi reaksi atas perbedaan penilaian antara dirinya dengan opini publik. Misalnya opini publik menyatakan terdakwa di persidangan sudah pasti pelaku kejahatan, sedangkan fakta persidangan dengan pembuktian dan keyakinan Hakim menyatakan hal sebaliknya. Jika hakim tunduk pada opini publik dengan mengabaikan prosedur hukum acara hingga pembuktian serta keyakinannya, maka sesungguhnya itu menunjukkan degradasi atas asas independensi dan kemandirian.
Hakim dalam kasus di atas menjadi terbelenggu oleh opini publik, entah karena rasa takut, cemas, atau alasan lainnya. Padahal seharusnya hakim dituntut dapat menghilangkan rasa takut dan cemas terhadap komentar negatif hingga caci maki masyarakat terhadap putusan yang akan dijatuhkan.
Bahwa sudah menjadi fakta bahwa profesi hakim sangat rentan. Tidak hanya dikomentari secara negatif atau difitnah, tetapi juga dilaporkan kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, Komisi Yudisial RI, Ombudsman RI atau instansi lainnya. Menghadapi risiko ini, apakah hakim boleh ragu terhadap putusan yang akan dijatuhkan? Jawabnya tidak boleh ada keraguan.
Sepanjang melaksanakan tugas dan wewenangnya, hakim berpedoman kepada peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Pedoman dan Perilaku Hakim yang terdiri dari 10 (sepuluh) butir yaitu (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, dan (10) Bersikap Profesional.
Hal tersebut di atas sesuai dengan sembilan nilai integritas dalam mencegah korupsi, yaitu Jujur, Peduli, Disiplin, Mandiri, Tanggung Jawab, Kerja Keras, Sederhana, Berani, dan Adil.
Merawat independensi dan kemandirian hakim secara akuntabel adalah upaya untuk menjaga kemewahan dan karakteristik Hakim sebagai profesi yang mulia. Melaksanakan Kode Etik Pedoman dan Perilaku Hakim merupakan pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Mengimplementasikan peraturan perundang-undangan merupakan keniscayaan. Dengan demikian, apabila hal-hal tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dengan turut pula memegang teguh sumpah jabatan, maka tak ada lagi istilah profesi hakim terjerat, terjebak dan tertangkap tangan terlibat dalam tindak pidana korupsi.