Oleh Falantino Eryk Latupapua, Asesor Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) Provinsi Maluku
Sebagai asesor Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) Provinsi Maluku, saya sudah 3 tahun diberikan tugas untuk melakukan verifikasi lapangan sebagai salah satu syarat menilai peringkat akreditasi sekolah.
Akreditasi sekolah adalah proses vital untuk memastikan sekaligus “memaksa” pengelola persekolahan untuk memenuhi Standar Pendidikan Nasional (SNP) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) RI Nomor 23 Tahun 2003.
Selama melaksanakan tugas tersebut, saya menghadapi perilaku koruptif yang dilakukan orang lain. Dalam pengalaman yang selalu berulang itulah, saya menganggap hal itu sebagai penyakit akut yang menggelayuti lingkungan persekolahan kita.
Sebagaimana terjadi pada bidang-bidang lain, kebiasaan memberikan “upeti” kepada para asesor juga terjadi di sini. Meskipun ini hanya pengalaman partikular yang tidak lantas harus dijadikan alat untuk menggeneralisasi, namun kebiasaan ini berbahaya jika dapat memunculkan kecenderungan yang kuat sebagai normalisasi. Semuanya dianggap biasa terjadi dan tidak perlu dirisaukan lagi.
Banyak orang yang diikat oleh kewajiban patuh dan taat aturan oleh sistem pengelolaan birokrasi selalu merasa perlu memberikan “sesuatu” hanya supaya bisa memperoleh pelayanan dengan baik. Dalam praktiknya, kami kerap disodori amplop berisi uang. Secara simbolik, hal itu menyiratkan harapan agar bisa “dibantu” untuk menutupi rumpang-rumpang akibat ketidaktepatan pengelolaan sekolah.
Kebiasaan memberikan upeti ini lantas menjadi ironi karena berbanding lurus dengan kualitas manajemen sekolah. Dalam pengamatan saya, sekolah yang cenderung melakukan gratifikasi biasanya tidak melaksanakan tugas manajerial persekolahan dengan baik.
Ironisnya, sumber dana yang dialokasikan untuk menyuap tidak jelas asal-usulnya. Jika dana itu dicomot dari dana BOS, tentu mekanisme pertanggungjawaban menjadi kacau-balau sehingga diperlukan upaya manipulasi dan rekayasa dalam pelaporan untuk menutupinya. Pada titik itulah, persoalan ini membentuk gurita kebobrokan pengelolaan pendidikan yang, meski dianggap kecil dan biasa, punya dampak sistemik panjang, terutama dalam membentuk cara berpikir dan cara berperilaku.
Lebih lanjut, perilaku semacam ini memiliki moral hazard yang sangat besar apabila orang-orang yang diserahi tanggung jawab menilai dan menentukan derajat kualitas menganggap pemberian upeti itu sebagai normalitas. Dengan alasan budaya yang “malu hati kalo seng kasi apa-apa” atau “malu hati kalo tolak” itulah, kualitas pendidikan menjadi barang dagangan. Integritas menjadi barang langka. Lebih dari itu, pengelolaan pendidikan cenderung sembrono karena digelayuti oleh prinsip “nanti bayar sa”.
Ironisnya, hal ini bukan hanya menggerogoti pendidikan dasar dan menengah, melainkan juga terjadi dengan leluasa pada institusi pendidikan tinggi. Semua perilaku itu dilakukan secara sadar dan dengan maksud yang kuat. Pada sisi inilah, tampaknya dunia pendidikan kita semakin terperosok pada kegagalan memenuhi tujuannya yang mulia.
Kebiasaan memberikan upeti ini tidak melulu berwujud amplop berisi uang. Dalam pengalaman bersentuhan dengan peserta didik, ada pula perilaku meminta pengecualian, memohon-mohon dibantu meskipun dengan cara melanggar aturan, mengabaikan kewajiban untuk memenuhi tugas, serta menyalahkan orang lain atas kelalaian diri sendiri.
Pendekatan budaya sering digunakan sebagai pembenaran: “labu jua ada hati”, “jang biking susah orang”, dan sebagainya. Orang menjadi sangat permisif terhadap kelalaian yang dilakukan secara sadar dan sengaja, juga cenderung menganggap kelemahan sebagai sesuatu yang taken for granted, yang “ya sudah, akang memang su par bagitu”.
Menurut saya, perspektif untuk memahami perilaku korupsi memang menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi di negara ini. Secara asumtif, perilaku korup dan manipulatif di masyarakat memang punya kaitan erat dengan celah-celah mismanajemen dalam lingkungan pendidikan, termasuk lingkungan nonformal. Lebih dari itu, korupsi dalam dunia pendidikan kita memang sudah mengakar dan tampaknya amat sulit diberantas. Oleh sebab itu, lingkungan pendidikan menjadi prioritas dalam pemberantasan korupsi melalui pewacanaan pendidikan antikorupsi.
Pada sisi yang lain, responsi publik terhadap perilaku korup di masyarakat, termasuk yang melibatkan para pejabat sangat menarik untuk diamati. Dalam pengamatan saya, responsi orang terhadap perilaku korup memang beragam. Secara kasuistik, responsi itu, lagi-lagi, sangat ditentukan oleh kepentingan. Oleh karena itu, sangat menarik mencermati bagaimana masyarakat yang dididik dengan nilai-nilai yang relatif sama, bisa memberikan reaksi yang berbeda.
Pada satu sisi orang bisa gencar meneriakkan slogan antikorupsi tapi kemudian menglorifikasi narasi baik tentang pejabat yang korup. Pada sisi yang lain, orang pun bisa dengan percaya diri menggunakan narasi-narasi keagamaan sebagai kontra narasi terhadap kewajiban menjadikan hukum sebagai panglima, tempat semua orang belajar merefleksikan tanggung jawab diri sebagai warga negara yang wajib menaati aturan. Kelihatannya masyarakat kita memang mudah tersesat dalam kontradiksi-kontradiksi semacam ini.
Memberantas korupsi, dengan demikian, perlu dimulai dengan membangun cara pandang yang tepat. Tidak ada tindakan korupsi yang dilakukan secara tidak sengaja dan tanpa kesadaran. Pejabat yang korup tidak pantas diteladani karena mengingkari sumpah jabatan untuk melayani masyarakat dengan jujur dan penuh integritas. Ini adalah keniscayaan. Tidak ada pembenaran apapun untuk perilaku ini, termasuk argumen bahwa seorang pejabat sudah melakukan banyak hal untuk masyarakat sehingga perilaku korupsi harus dimaklumi dan dimaafkan.
Melayani rakyat adalah tugas pemimpin. Ia dipilih, dipercaya, disumpah, dan dibebani harapan rakyat untuk melakukan kebaikan dalam semua aspek. Pimpinan harus sempurna dalam kejujuran dan integritas karena untuk itulah ia menjadi berbeda dan dipandang cakap untuk menjadi panglima.
Lalu, bagaimana menyikapi pejabat yang korupsi? Tergantung posisi kita, tentu saja. Mendoakan, mendorong proses hukum, membela, mencerca, menghakimi, adalah beberapa di antara banyak pilihan yang bisa ditentukan secara sadar dan bermartabat.
Bagi saya, tentu lebih baik jika kita menjadikannya sebagai bahan refleksi bagi diri sendiri. Satu hal yang pasti, menjaga jarak kritis dengan kekuasaan amat penting. Harus ada orang-orang yang berani mengambil posisi ini agar keseimbangan kosmos bisa dijaga. Kita bebas bersentuhan dengan kekuasaan secara profesional, tetapi tetap menjaga jarak ideal, supaya kita tidak terikat dengan kewajiban untuk membenarkan perilaku korup dan manipulatif, apalagi ikut melakukannya saat diberi panggung nanti. Yuk, bisa yuk….
_______________
1Ungkapan khas Maluku, menggunakan metafora buah labu memiliki biji/ (demikian pula manusia). Ungkapan ini menyiratkan bahwa manusia harus menggunakan perasaan dalam bersikap agar tidak menyusahkan orang lain. Dalam konteks perilaku korupsi biasanya wujud aplikatif daripada ungkapan ini adalah memaklumi dan memaafkan pelaku.
2Jangan menyusahkan orang lain.
3Sudahlah, hal itu memang demikian adanya