Korupsi telah mengakar dalam tradisi kehidupan sosial-politik-hukum kita dewasa ini. Bahkan, korupsi merupakan suatu fenomena yang sungguh global (Georg Kirchberger, 2016). Di berbagai institusi dan birokrasi negara Indonesia, praktik korupsi telah mencekoki birokrat dan elit-elit negara. Tidak kurang, penegak hukum, mulai dari pengacara, jaksa, kepolisian dan hakim juga turut dipersangkakan karena terlibat kasus korupsi. Ini tentu sangat mengecewakan dan menjadi perhatian kita bersama.
Kasus korupsi tentu tidak hanya lahir dari ‘kesempatan’ ketika memegang kuasa. Lebih jauh, kasus korupsi lahir dari apa yang selama ini kita anggap normal dan berlaku umum. Misalnya, dalam kehidupan keluarga, seorang anak diberikan uang oleh orang tua untuk membeli keperluan dapur. Namun, si anak menggunakan uang kembalian tersebut sebagian untuk keperluan dan kepentingannya sendiri tanpa memberitahukan kepada kedua orang tuanya. Di sinilah praktik korupsi mulai tumbuh dalam bentuknya yang paling kecil.
Sialnya, sebagian orang tua menganggap perilaku si anak sebagai hal yang normal, tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi di masa depannya. Praktik yang dilakukan oleh si anak jika dibiarkan secara terus-menerus lama kelamaan akan menjadi suatu kebiasaan, serta tumbuh dan mengakar kuat dalam setiap tindakannya. Di titik itulah, perilaku tersebut akan menjadi bagian dari cara kehidupan anak dan tertanam kuat sampai dirinya bekerja.
Menurut saya, praktik korupsi tidak hanya lahir dari kesempatan memegang kuasa, melainkan lahir dari pola hidup yang sudah dianggap normal dan biasa-biasa saja. Pola kebiasaan itu terwariskan dalam setiap tindakan dan cara kita memahami sesuatu. Bagi masyarakat umum, praktik korupsi hanya ada di institusi negara yang dilakukan oleh para elite dengan nilai korupsi miliaran dan triliunan rupiah. Padahal, korupsi itu lahir dan dibentuk dari lingkungan yang kita anggap normal dan biasa, yang terus kita pelihara dan pada akhirnya tertanam kuat di dalam pemikiran dan tindakan sehari-hari.
Di titik itulah peran keluarga sebagai unit terkecil dari negara sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai moral bagi anak-anak. Penanaman nilai moral dari lingkungan keluarga, seperti jangan mencuri, adalah bagian dari upaya kecil dalam melawan korupsi dan membangun budaya antikorupsi. Peran orang tua sangat menentukan dalam pola kehidupan anak dan membentuk sikap anak yang jujur, bertanggung jawab dan rela berkorban.
Tulisan ini tidak hendak membahas peran orang tua dan keluarga dalam mengupayakan budaya antikorupsi. Menurut saya, terkait ini sudah banyak dibahas di berbagai literatur tentang peran keluarga dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Saya menjangkar keluar dari diskusi tersebut dan menawarkan satu hal yang luput dari perhatian kita bersama terkait upaya membumikan semangat antikorupsi dari desa.
Desa dan Semangat Antikorupsi
Mengapa desa? Apakah desa, sebagai suatu wilayah yang di dalamnya terdapat masyarakat yang hidup dan menetap, memiliki peran vital membumikan semangat antikorupsi? Bagaimana merealisasikan budaya antikorupsi dari desa? Pertanyaan ini yang akan saya uraikan. Namun, sebelum menjawab, saya menegaskan terlebih dahulu posisi pemikiran saya dalam tulisan ini.
Pertama, desa sebagai entitas sosial-kultural yang terdiri dari berbagai anggota masyarakat memiliki peran yang sangat vital dalam membumikan semangat antikorupsi. Peran ini terejewantahkan melalui praktik kehidupan masyarakatnya yang kental dengan nilai-nilai gotong royong (kebersamaan), keadilan, dan keluhuran budaya yang membidani masyarakat di desa dalam aktivitas keseharian mereka.
Kedua, desa memiliki peran yang signifikan dalam membangun, membentuk dan menciptakan generasi muda desa yang aktif dalam membumikan semangat antikorupsi. Melalui organisasi Karang Taruna, desa bisa menjadi bagian dari aktor yang mengkampanyekan budaya antikorupsi sekaligus melawan korupsi. Artinya, desa bisa menjadi motor penggerak di tingkat lokal dalam membumikan semangat antikorupsi. Karena, praktik korupsi telah menghantui rezim di tingkat lokal yang mau tidak mau harus dipadamkan melalui partisipasi generasi muda desa.
Selain itu, dalam konteks melawan korupsi atau membumikan semangat anti korupsi, desa tidak saja dimengerti sebagai sebuah wilayah yang perlu berpartisipasi dalam agenda pemberantasan korupsi. Melainkan, yang tidak boleh dilupakan ialah, desa bisa menjadi semacam ‘pemantik semangat’ bagi warganya agar memiliki perhatian dan keseriusan yang sama melawan korupsi ataupun menanamkan pemahaman antikorupsi. Sebab, tanpa keterlibatan dan partisipasi warga desa dalam membangun semangat antikorupsi, menurut saya, korupsi itu tetap tumbuh dan bahkan terus mencekoki generasi ke generasi.
Lantas bagaimana mengupayakannya? Menurut saya, ada banyak jalan yang bisa kita upayakan dan kerjakan bersama. Kepala Desa, Ketua RT/RW dan kelompok Karang Taruna harus menjadi katalisator yang menggerakkan sekaligus membumikan semangat antikorupsi di desa. Selain itu, pos ronda di desa bisa dimanfaatkan sebagai media yang mempertemukan gagasan membangun budaya antikorupsi. Di situlah ada semacam ‘transfer dan tukar gagasan’ tentang korupsi dan caranya menghentikan budaya korupsi sekaligus menanamkan kecintaan pada generasi muda terkait kejujuran.
Hemat saya, dengan cara seperti ini tidak hanya membentuk sikap warga negara yang memahami korupsi, tetapi juga tahu caranya melawan dan menanamkan pemahaman kepada generasi tentang korupsi. Sebab, kita harus akui bersama, tidak semua orang di desa memahami korupsi. Mereka hanya memahami sebatas pada apa yang mereka lihat dan tonton di televisi. Sementara, korupsi itu luas maknanya. Karena itu, saya mengajukan konsep dan gagasan ini sebagai sebuah alternatif dari cara kita melawan dan membangun budaya antikorupsi yakni dengan cara membumikan semangat antikorupsi dari desa.
Respons Negara
Tentu dalam membumikan semangat anti korupsi yang diperlukan ialah adanya respons negara. Hal ini penting, sebab tanpa respons negara maka kurang memberikan tekanan yang masif dalam membumikan semangat antikorupsi. Karena itu, agenda seperti ini perlu mendapat respons negara, baik melalui fasilitas umum maupun melalui pendekatan kewargaan yang memungkinkan setiap warga desa berpartisipasi.
Menurut saya, agenda membumikan semangat anti korupsi akan meluas tidak hanya di tingkat desa, melainkan akan menyebar dan tetap berlanjut karena diperkuat dan disokong oleh kehadiran negara. Tentu semuanya ini harus dilakukan dengan sikap yang jujur, mau berbenah demi Indonesia yang bersih dari korupsi.