Kuncinya: ide!
Di ballroom yang luas itu, Akhyari menjelaskan, kunci untuk membuat konten berbasis AI, “Pertama dan utama adalah ide,” katanya. Dari sekian jenis konten, teks adalah konten yang paling mudah dibuat menggunakan AI, entah berupa artikel, pantun, dan lain-lain, termasuk merangkum sebuah laporan jurnal. “Siapa pun yang bisa menggunakan internet, dia bisa menggunakan AI,” kata Akhyari.
Satu hal yang perlu dipahami ialah menggunakan AI berbeda dengan mendesain salindia presentasi. Tak sedikit peserta kelas mengira AI adalah sebuah asisten virtual yang langsung bisa mencipta instan, termasuk mendesain materi penyuluhan. Padahal, mendesain materi salindia yang menarik adalah kemampuan teknis lain.
Namun, Akhyari memberikan “solusi” agar para penyuluh yang berusia di atas 40 tahun mudah menggunakan AI untuk mendesain materi presentasi. Ia pun mencontohkan cara mendesain salindia memakai aplikasi seperti aippt.com, Gamma, atau Canva AI.
Meski tampak mudah, Akhyari mengingatkan, bahwa konten AI yang tercipta belum sepenuhnya terverifikasi. Hasil AI tersebut harus tetap divalidasi dan merujuk pada sumber yang benar, bisa berupa artikel berita, jurnal, dan lain-lain. “Itu harus ada,” katanya.
Jika masih sulit mencari sumber berita, ia kembali memberi solusi pendek: pakailah Perplexity. Platform berbasis web ini memproduksi konten sekaligus menyertakan rujukan sumbernya.
"Artinya kan tidak ada yang instan,” tegas Akhyari saat berbincang dengan ACLC.
Menurutnya, etika tetap harus dipegang saat men-generate atau memproduksi konten. “AI itu bisa memiliki bias dan diskriminasi karena dia bukan manusia,” ujarnya. Oleh karenanya, ada hal yang tidak bisa ditinggalkan, yaitu integritas.
“Bahwa apa yang kita hasilkan itu adalah karya kita, entah itu tools-nya pakai apa saja,” kata Akhyari.
Karena efek sosial yang luas, termasuk tantangan hukum hak cipta, tak sedikit para pihak mengkritik AI generatif tersebut. “Karena takut AI menggantikan manusia: loss human control, ketakutan tidak bisa dikontrol manusia serta mendevaluasi kemampuan dan kreativitas manusia,” tuturnya.
Untuk itu, “Saya pikir sebelum membuat artikel itu, kita harus tahu dulu: tujuan bikin artikel apa, judulnya apa, setidaknya sudah ada outline-nya,” ucapnya.
Baru kemudian, kerangka itu dimasukkan ke platform AI. Setelah itu, penting lagi—dan jangan pernah dilupakan—adalah proofreading. “Dibaca lagi, kira-kira mana yang salah, mungkin ada paragraf yang enggak nyambung.”
Jadi, meski AI mempermudah, apa yang harus tetap dijaga? “Tetap ya, literasi dasar wajib dikuasai. Ini enggak bisa hilang,” Akhyari menekankan. []