Dalam kesempatan itu, Amir mengatakan, masyarakat bebas memilih siapa pun kandidatnya, termasuk berdasarkan identitas daerah. Misal, karena kedekatan asal daerah, kesamaan hobi atau hal lain.
Namun, jika identitas sosial itu digunakan untuk mendiskriminasi atau menjelekkan orang lain, itu menjadi masalah. “Pengalaman kita, sering kali perbedaan identitas dijadikan alasan untuk menstigma orang lain, bahkan memaksa dan memusuhi mereka. Itu yang berbahaya,” katanya.
Apakah perbuatan tersebut tergolong tindakan koruptif? Amir mengatakan, untuk memahaminya harus kembali lagi ke definisi asal korupsi. “Korupsi itu kata lainnya curang. Maka, semua tindakan curang itu koruptif, terlepas dari pidana atau tidak perbuatan tersebut ya,” kata Amir.
Habib Ja’far juga sependapat bahwa memilih karena identitas kandidat tidak masalah asalkan tidak ada politisasi identitas untuk menjatuhkan, mendiskriminasi, membangun fanatisme buta, atau menyingkirkan orang lain.
Oleh karena itu, sebaiknya seseorang tidak memilih kandidat politik berdasarkan identitas. “Kita seharusnya memilih berdasarkan nilai atau gagasan yang ditawarkan calon. Kalau memilih hanya karena orangnya, bukan gagasannya, itu sama seperti berjudi: seperti kocokan undian yang hasilnya tidak kita seleksi,” kata Habib.
Jika kemudian orang yang dipilih korupsi atau mengkhianati janjinya, maka “Kita ikut bertanggung jawab atas dosa itu. Namun, kalau kita memilih gagasannya, dan ia mengkhianati gagasan tersebut, dosa itu tidak jatuh pada kita,” ujarnya.
Sebagai umat beragama, ia mendorong lahirnya calon-calon berintegritas. Dalam terminologi Islam, orang yang tidak bersyukur saja disebut “orang kafir”. Maka, orang yang korupsi atau tidak berintegritas, meski beragama Islam, adalah muslim yang di dalam dirinya terdapat nilai-nilai kekafiran.[]