PADA minggu pagi, mantan Bupati Tulus terbangun dengan keringat deras bercucuran. Subuh itu ia mendapati diri terasa terjepit di sebuah kursi kayu tua, seperti kursi yang sehari-hari ia duduki di kantornya. Kursi itu mencengkeram tubuhnya kuat-kuat, sampai-sampai ia tak bisa bernapas.
Tulang-tulangnya terasa lepas dan retak. Ia menjerit keras, tapi tak ada siapa pun yang mendengarnya. Kakinya juga bak terbelenggu oleh gunungan wayang, sehingga tak kuat ia menggerakkan sama sekali.
Sesuatu di dalam dirinya telah berubah, bukan secara fisik, melainkan kondisi jiwa yang mencekam. Baru kali itu, sepanjang hidupnya, ia benar-benar merasa takut.
Kemarin sore, ia masih segar, tersenyum penuh empati, saat memberikan santunan kepada anak-anak yatim dan kaum dhuafa di alun-alun kabupaten. Suaranya lembut penuh wibawa. “Semoga berkah ini membawa kebaikan bagi kita semua,” ucapnya.
Siapa yang tak tersentuh dengan Pak Tulus. Ia terkenal dermawan, saleh, dan bertutur kata yang baik. Makanya, pada periode kedua saat itu, ia dan wakilnya Panji sama sekali tak tertandingi—90 persen suara diperoleh tanpa banyak keluar keringat.
Ratusan warga di bawah panggung mengelu-elukan dia. “Sukses selalu Pak Tulus”, “Semoga kota kita diberkahi”, “Hidup rakyat, hidup Pak Tulus” dan masih banyak suara terdengar sore itu. Pak Tulus telah menjadi simbol pemimpin ideal: sederhana dan peduli.
Namun, di balik citra itu, ada kisah yang tak pernah diketahui orang banyak. Selalu ada hijab yang dibuat, yang terus-menerus disemir, dari pandangan publik.
Di ruang kerja di rumah, di balik laci terkunci, sebuah amplop berisi sejumlah cek perjalanan (traveller’s cheque) untuk pelesir ke luar negeri. Itu adalah hasil temu-temu rahasia dengan pengusaha konstruksi yang mengincar proyek pemerintah.
Pak Tulus sering memandangi amplop itu dengan perasaan antara takut dan merasa berhak. Serapat-rapatnya bau busuk ditutup-tutupi, akhirnya tercium juga oleh penegak hukum. Seorang pengusaha konstruksi ditetapkan sebagai tersangka. Kepada pers, pengusaha itu menyebut mantan Bupati Tulus menerima sejumlah cek perjalanan.
Kota J pun mendadak gempar. Masyarakat tak percaya, orang sesaleh Pak Tulus bakal mencederai para pemilihnya, mengkhianati sumpahnya sebagai pemimpin.
Tapi, siapa yang bisa menjamin: integritas seseorang selalu dalam kondisi kuat? Banyak faktor pendorong orang mudah menerima gratifikasi—ini juga disebut korupsi. Dan, Pak Tulus bukanlah malaikat, ia pun terjerat dalam iming-iming fana.
Kirana, penyuluh antikorupsi muda, membaca laporan yang menyebutkan keterlibatan Pak Tulus. Di kepalanya langsung tergambar ibunya, yang sangat mengidolakan Pak Tulus. Jika informasi ini disampaikan, pasti sang ibu akan menolak realitas itu.
“Tidak mungkin!” kata sang ibu sambil menatap Kirana lekat-lekat.
“Pak Tulus itu orang baik. Kamu lihat sendiri, tiap Jumat dia berbagi. Ini pasti fitnah.”
Suara sang ibu meninggi. Ia lalu berdiri dengan muka masam dan pergi ke kamarnya. Kirana hanya bisa melihat punggung ibunya itu berlalu begitu saja.
Ia menarik napas panjang. Ia tahu tugasnya sebagai penyuluh antikorupsi tidak pernah mudah. Ia sendiri juga melihat bagaimana Pak Tulus membangun reputasi seperti memperbaiki madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah.
Berita itu menyebar seperti angin, menembus setiap ruang cakap-cakap warga kota kecil itu. Media lokal ramai-ramai mengangkat isu gratifikasi. Pak Tulus, bagi banyak orang, masih dianggap "figur suci". Namun, bagi Kirana, ini adalah momen penting untuk mengedukasi masyarakat.
Kebetulan ia punya kenalan wartawan. Ia mengirimkan sebuah tulisan kepadanya dan memohon agar bisa dimuat. Cerita itu memberikan gambaran tentang tampilan baik seseorang bukan berarti menafikan kesalahan yang diperbuat.
“Korupsi tetaplah korupsi,” tulisnya di kolom opini media lokal.
Kolom itu ternyata viral di media sosial. Banyak yang mendukung, tak sedikit pula yang mencacinya. “Sudah biasa pendukung yang kalah”, “Penyuluh bayaran ini ye...”, “Jangan sok suci, awas tuduhanmu berbalik” dan banyak lagi komentar yang menyerang akun medsosnya.
Kirana tak gentar. Bersama kawan-kawan komunitas, ia membuat forum diskusi. Meski tak banyak, video diskusi itu diunggah di medsos—biar orang banyak mendengarnya.
Di balik layar, ternyata aparat penegak hukum mulai bekerja. Mereka memanggil saksi dari perusahaan konstruksi yang disebut dalam laporan. Perlahan-lahan fakta-fakta semakin terang.
Hari demi hari, publik terpecah. Di pasar, ibu-ibu bergunjing bahwa ini hanya permainan politik. “Pak Tulus itu suka sedekah. Masak tega dia korupsi?” ucap mereka.
Namun, diskusi kecil di warung indomie dan kopi bergeser dari judi online ke soal moralitas pemimpin.
“Sedekahnya nyata, Kirana. Apa itu tidak berarti apa-apa?” tanya ibu Kirana. Kini sang ibu sudah mulai terbuka untuk diskusi, tidak seperti hari sebelumnya.
“Bu, sedekah memang kebaikan. Tapi, gratifikasi itu juga korupsi—racun juga.”
Ibunya diam. Di kepalanya, ia belum bisa menerima gratifikasi itu disebut korupsi.
Hari penggeledahan tiba. Tim aparat hukum mendatangi rumah dinas Pak Tulus. Wartawan berebut memotret dan mengabadikan saat petugas keluar membawa beberapa dokumen.
“Saya difitnah,” ujar Pak Tulus saat memberikan keterangan kepada wartawan usai penggeledahan.
“Saya akan buktikan bahwa saya tidak bersalah.”
“Ayo, ayo silakan dimakan loh, jangan malu-malu...”
Tapi, para wartawan terlihat sungkan dan menolaknya, lalu mereka pergi dengan menyimpan banyak tanya yang belum terjawab.
Pak Tulus pun akhirnya dinyatakan sebagai tersangka. Persidangan pertama menjadi titik balik. Bukti-bukti berupa dokumen transaksi dan rekaman percakapan mematahkan pembelaannya.
Pada sidang ke-10, ia akhirnya mengakui setelah sejumlah saksi menyudutkannya. Namun ia berdalih, “proyek itu demi masyarakat juga.”
Sebagian besar warga melihat sidang itu sebagai pengkhianatan kepercayaan publik. Kekuasaan memang menggiurkan dan melenakan, ujar warganet di akun medsos Kirana.
Kirana terus membagikan aksi-aksinya sebagai penyuluh antikorupsi, memberikan pemahaman bahwa gratifikasi adalah korupsi, bukan rezeki
Di depan kaca kamarnya, Kirana melihat dirinya yang kurus. Tapi, hatinya lega. Pak Tulus dinyatakan bersalah dan dipenjara 10 tahun.
Di luar, hujan turun perlahan, membasahi jalanan. Air mata Kirana juga turut meleleh, membelah pipinya.
**
Cerita di atas adalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan dengan nama tokoh, cerita, atau tempat kejadian, itu hanyalah kebetulan semata. Pelajaran apa yang bisa dipetik #KawanAksi dari cerita tersebut?
Pesan dari cerita di atas ialah tindak-tanduk seorang pemimpin harus kita kontrol. Sebagai masyarakat pemilih, kita harus berani menyuarakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.
Jika memang ada indikasi korupsi, laporkan saja ke aparat penegak hukum. Membiasakan diri hidup sederhana, tidak melebihi kemampuan diri, bersyukur dengan rezeki yang diterimanya, adalah pilihan yang lebih baik agar hidup lebih nyaman dan tenang, tanpa beban.
Yuk, sebarkan benih-benih nilai integritas dan perilaku antikorupsi “ Jumat Bersepeda KK” (jujur, mandiri, tanggung jawab, berani,sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras).