DESEMBER 2003 menjadi bulan kelabu bagi Parmalat, perusahaan susu dan makanan olahan multinasional asal Parma, sebuah kota di Italia Utara.
Pada akhir pekan, 27 Desember, kala orang-orang libur Natal, mereka harus menelan pil pahit setelah berminggu-minggu menjadi sorotan publik. Induk perusahaan klub sepakbola AC Parma itu (kini, Parma Calcio 1913) dinyatakan bangkrut oleh pengadilan setempat.
Keruntuhan Parmalat mengguncang Eropa dan disamakan dengan ambruknya Enron, perusahaan gas alam terkemuka Amerika Serikat, pada 2001 yang juga terjerat skandal keuangan.
Parmalat bermula sebagai peternakan keluarga di Italia Utara, awalnya berfokus pada produksi daging kalengan milik keluarga Melchiore. Selepas Melchiore meninggal dunia, pada 1961 perusahaan diambil alih anaknya yang masih berusia 22 tahun, Calisto Tanzi, yang memutuskan keluar dari kampus dan mengurusi bisnis. Dari bisnis daging, Tanzi mengalihkan fokus bisnis ke produk susu.
Dalam perjalanannya, Parmalat berkembang sebagai salah satu perusahaan makanan raksasa Italia. Pada 1990, mereka melantai di bursa saham Milan dengan produk yang bervariasi dan berkembang sebagai konglomerat multinasional. Setahun berikutnya, mereka membeli saham mayoritas (sekitar 98 persen) klub Parma.
Apa yang membuat perusahaan raksasa Italia itu jatuh? Analisis menyebutkan, eksekutif perusahaan melakukan penipuan sejak 1990 hingga 2002 terkait laporan keuangan. Mereka membuat laporan keuangan palsu bahwa kondisi keuangan seolah-olah positif, padahal merugi.
Teori Governansi
Permasalahan yang menimpa Parmalat, dilihat dari Teori Governansi, disebabkan oleh kekacauan tata kelola (governance) organisasi, yaitu tidak berjalannya mekanisme pengawasan internal dan jajaran direksi berkolusi menutup-nutupi borok yang terjadi.
Seperti yang disampaikan pakar korupsi Robert Klitgaard dalam buku Reformasi Birokrasi dalam Transisi (2017), bahwa korupsi (fraud) terjadi karena monopoli penggunaan wewenang, tanpa akuntabilitas—salah satu prinsip good governance.
Meski kasus di atas dialami oleh perusahaan privat, tak menutup kemungkinan hal serupa juga bisa menerpa organisasi publik.
Dalam tubuh birokrasi pelayanan publik, praktik culas dan curang ini tumbuh dan berkembang lantaran orang-orang di dalamnya memanfaatkan celah-celah kelembagaan, seperti prosedur yang berbelit-belit, tumpang tindih dan sebagainya.
Oleh karenanya, Klitgaard menekankan pentingnya “aspek kelembagaan dan prosedur birokrasi dalam upaya pemberantasan korupsi”. Di Singapura, Korea Selatan, dan Hong Kong memiliki pengalaman dalam debirokratisasi—birokrasi akhirnya ditata ulang untuk mendukung atau memberi stimulus perkembangan bisnis.
Mengutip Pedoman Umum Governansi Sektor Publik Indonesia (2022) yang diterbitkan Komite Nasional Kebijakan Governansi, masalah governansi (keagenan) di organisasi publik timbul saat terjadi kesenjangan informasi antara rakyat (dalam organisasi privat disebut prinsipal) dengan eksekutif sebagai agen yang diberi amanah untuk mengelola sumber daya publik.
“Jika sistem governansi tidak berjalan, maka agen pun bisa bertindak secara oportunis untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri, bahkan kepentingan pribadi,” demikian disebutkan dalam buku tersebut.
Kondisi itulah, “salah satu hal yang menyebabkan terjadinya korupsi yang melibatkan eksekutif seperti menteri, kepala daerah, ASN, jaksa, dan polisi, bahkan kalangan anggota DPR dan hakim.”
Nilai-nilai dasar governansi sektor publik
Mengapa governansi sektor publik sangat dibutuhkan? Menurut Komite Nasional Kebijakan Governansi, hal itu bertujuan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Setidaknya ada 13 nilai-nilai dasar governansi sektor publik yang wajib diimplementasikan di organisasi publik, antara lain:
1. Kepemimpinan. Ini hal mendasar dan penting untuk dapat mencapai komitmen governansi organisasi yang baik. Kebijakan yang dibuat pemimpin wajib mengutamakan kepentingan masyarakat secara adil dan merata, serta bisa dipertanggung jawabkan. Pemimpin harus sebagai pelayan masyarakat.
2. Etika dan Kejujuran. Pejabat publik harus memiliki dan memegang teguh seperangkat prinsip standar atau nilai-nilai moral yang mengatur perilaku mereka, mana yang boleh dan tidak, mana yang pantas dan tak pantas, dan bertindak dengan penuh integritas.
3. Supremasi hukum. Supremasi hukum mensyaratkan kerangka hukum yang adil, di mana tegaknya peradilan yang independen dan tidak memihak. Nilai ini menyediakan mekanisme checks and balances untuk mengurangi peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dan aparaturnya demi kepentingan pribadi.
4. Transparansi. Pemerintah dan aparaturnya harus menjawab hak warga negara untuk memiliki akses terhadap informasi tentang hal yang sudah, sedang, dan akan dilakukan oleh pemerintah dan tujuan yang akan dicapai. Pengungkapan informasi mensyaratkan dokumen publik yang mudah dipahami dan disebarluaskan atau dapat disediakan berdasarkan permintaan. Namun, tetap harus dibatasi terhadap informasi berkaitan dengan keamanan dan pertahanan negara.
5. Independensi. Pejabat publik memiliki kebebasan dari segala bentuk intervensi yang tidak beritikad baik saat membuat keputusan publik. Pemerintah dan aparaturnya dituntut untuk memiliki integritas tinggi sehingga kebijakan dilandasi objektivitas, profesionalisme, dan tak ada intervensi mana pun sehingga terbebas dari benturan kepentingan.
6. Akuntabilitas. Akuntabilitas pubik adalah hal-hal yang berkaitan dengan domain publik, seperti penggunaan dana publik, penggunaan kekuatan (power) publik, atau aktivitas institutsi publik. Ada empat dimensi akuntabilitas publik, menurut Ellwood dalam artikel “Parish and Town Councils: Finansial Accountabilitay and Management” (1993), yaitu akuntabilitas hukum, proses, program, dan kebijakan. Sederhananya, akuntabilitas publik dapat dilihat sebagai pemberian informasi dan pengungkapan atau aktivitas dan kinerja finansial pemerintah, baik pusat maupun daerah, kepada pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut, tulis Mardiasmo dalam buku Akuntansi Sektor Publik: Edisi Terbaru (2018).
7. Amanah. Nilai ini mencakup tiga hal yaitu tulus, integritas, konsisten, dan dapat dipercaya. Pemerintah dan aparaturnya wajib berperilaku dan bertindak selaras dengan perkataan. Sebagai abdi negara, mereka harus menjadi seseorang yang dapat dipercaya dan bertangung jawab, jujur, dan berpegang teguh pada nilai moral dan etika secara konsisten.
8. Berorientasi pelayanan dan bangga melayani masyarakat. Pemerintah dan aparaturnya harus berorientasi pada pemberian pelayanan terbaik yang berbasis kepentingan masyarakat luas, bukan permintaan pasar. Pemerintah adalah pelayan masyarakat. Pemerintah tidak menentukan arah kebijakan dan program secara sepihak, tapi melibatkan seluruh kelompok masyarakat.
9. Kompeten. Pemerintah dan aparaturnya harus meningkatkan kompetensi melalui pelatihan secara berkala. Pengetahuan dan kompetensi terkini akan membentuk ASN yang tangguh dan mampu melaksanakan tugas.
10. Harmonis. Pemerintah dan aparaturnya harus peduli dengan kebutuhan masyarakat, tanpa memandang latar belakang. Selain itu, juga wajib menjamin hak-hak dasar masyarakat.
11. Loyal. Pemerintah dan aparaturnya harus mampu menunjukkan komitmen kuat dan berdedikasi serta menguatakan kepentingan bangsa dan negara, kepentingan umum, dan rela berkorban untuk tujuan bersama. Tingkal loyalitas ini harus dibedakan antara kepada negara dengan atasan. Pejabat publik dan ASN tidak boleh loyal kepada atasan yang melanggar kebijakan dan aturan negara.
12. Adaptif. Pemerintah dan aparaturnya harus mampu menghadapi dan beradaptasi, bahkan haruslah proaktif terhadap perubahan. Sikap proaktif terhadap perubahan ini akan mendorong para aparat sipil negara terus berinovasi dala pelayanan publik.
13. Kolaboratif. Pemerintah atau pejabat publik haruslah terbuka untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, tanpa diskriminasi. Mereka harus menekan dan mengeliminasi ego sektoral, daerah, dan ilmu antarinstansi. Iklim kolaboratif meningkatkan sinergi antarinstansi.
Mari #KawanAksi kita terapkan nilai-nilai dasar governansi tersebut di setiap instansi publik dengan penung komitmen dan tanggung jawab. Dari situlah, kita bertindak untuk mulai mencegah terjadinya korupsi.[]