PRAKTIK korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia sudah terang-terangan. Tidak bisa menilep uang rakyat secara langsung, para koruptor mengakali sistem yang ada. Perbuatan mereka sudah sistematis dan berjamaah.
Korupsi seringkali dipahami sebatas mencuri uang rakyat, padahal kolusi dan nepotisme juga termasuk perbuatan yang memberikan peluang terjadinya korupsi.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, korupsi dikelompokkan dalam tujuh jenis, antara lain tindakan yang merugikan keuangan negara, suap-menyuap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Suatu kali di sebuah acara bedah Buku Panduan Transperancy Internasional pada 1999, Ekonom Prof Emil Salim mengatakan bahwa korupsi di suatu negara terjadi karena adanya saling keterkaitan dan ketergantungan yang diciptakan oleh pejabat dan masyarakat.
“Dikenal adanya praktik smiling money yang dapat diartikan, pejabat akan melontarkan senyum manakala jasa yang diberikannya mendapatkan imbalan sejumlah uang, padahal itu tidak perlu dilakukan,” tutur Emil (Kompas, 17 Februari 1999).
Praktik smiling money itu bisa terjadi karena ada pejabat yang menyalahgunakan jabatannya. Pejabat tersebut biasanya meminta imbalan atas jasanya dalam melayani publik.
Oleh karenanya, perang melawan korupsi saat ini tak cukup dengan penindakan seperti hukuman penjara. Penghukuman terhadap para koruptor harus lebih berat, salah satunya, pemiskinan koruptor. Bagaimana pun korupsi saat ini sudah seperti wabah virus—menyebar sistemik di organisasi publik maupun privat.
Dalam pemberantasan korupsi, KPK mengenalkan strategi Trisula Pemberantasan Korupsi yaitu pedidikan, pencegahan, dan penindakan. Sula Pendidikan dan Sula Pencegahan juga sangat penting dimasifkan di seluruh masyarakat.
Salah satu upaya pendidikan antikorupsi yaitu melalui film. Berikut dua serial film pendek berjudul “Kita versus Korupsi (K v K)” mengajarkan kita betapa pentingnya menerapkan prinsip antikorupsi:
“Pssttt... Jangan Bilang Siapa-Siapa!”
Suatu siang, bel sekolah berbunyi yang menandakan kalau sudah waktunya istirahat, Gita yang membawa kamera ke sekolah tengah merekam temannya bernama Olla. Walau dibilang norak oleh teman cowok, Gita tetap melanjutkan merekam seluruh aktivitas di sekolahnya. Mereka berdua lalu menuju kantin karena Olla mau mengambil buku ke Echi.
Setelah Olla membayar buku tersebut, Gita dibuat bingung dan menanyakan “tidak ada kembaliannya”. Soalnya, ketika ia membeli buku di luar harganya lebih murah dibanding membelinya dari sekolah. Mengetahui hal itu, Echi langsung bercerita kalau Pak Norman melebihkan harga buku dan Echi mendapatkan tips dari penjualan bukunya.
Selidik punya selidik, harga buku yang dijual lebih mahal ternyata ulah Kepala Sekolah bernama Pak Sukit. Bagaimana kisah selanjutnya?
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah di atas? Ternyata korupsi itu bisa dilakukan siapa saja.
“Selamat Siang, Risa!”
Risa Arwoko yang menjabat sebagai Kabag Perizinan diberi uang tunai senilai U$250.000. Ia juga diberi janji bahwa uang yang diterimanya bakal ditambah setelah proyek yang dikerjakan selesai.
Ia pun teringat kisah masa kecilnya. Suatu hari, ayahnya, Pak Woko, pengawas gudang, juga mengalami hal serupa dengannya. Ada klien yang meminta bantuan Pak Woko untuk menaruh beras di gudang tempatnya bekerja dengan memberikan uang tambahan.
Tapi, Pak Woko yang memiliki sikap jujur tidak mau menerima uang suap tersebut meski keluarganya sangat membutuhkan uang untuk kehidupan sehari-hari. Pak Woko rela bekerja lebih keras untuk mendapatkan uang supaya tidak menerima uang suap dari klien yang meminta bantuannya.
Apakah Risa akan menerima atau menolak uang suap itu?
Tonton kisah lengkapnya
di sini, ya!
Nah, bila #KawanAksi mendengar ada yang melakukan korupsi di sekitar tempat tinggal #KawanAksi, jangan sungkan untuk melaporkan perbuatannya melalui Whistleblower's System (KWS).
Tenang saja, identitas #KawanAksi dirahasiakan kok. Mari berantas korupsi bersama ACLC KPK. [*]