ENAM dekade lalu, pada 1 Mei 1963, untuk kali pertama KH Saifuddin Zuhri menempati gedung Departemen Agama di Jalan MH Thamrin.
Sekitar 13 bulan seusai dirinya dilantik sebagai Menteri Agama ke-10 Republik Indonesia oleh Presiden Sukarno pada 2 Maret 1962, gedung itu akhirnya selesai dibangun.
Pembangunan gedung itu juga sebagai janji Ir Djuanda, kala itu Menteri Pertama cum Menteri Keuangan, sewaktu bertemu dengan Saifuddin usai pelantikan.
Dalam temu bakda Magrib di rumah Ir Djuanda itu, Saifuddin mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah atas tawaran bantuan kepada departemennya. Saat itu, menurut dia, belum ada yang perlu sekali, kecuali satu hal, yaitu gedung kantor. Karena Depag meski sudah berganti beberapa menteri tapi pegawai masih menempati gedung kantor kecil dan penuh sesak (dalam Menteri-Menteri Agama RI: biografi sosial-politik karya Azyumardi Azra & Saiful Umam (ed): 203-241).
Menjadi menteri agama bukanlah yang dimimpikan lelaki kelahiran Kauman, Sokaraja Tengah—sembilan kilometer dari Banyumas, Jawa Tengah pada 1 Oktober 1919.
“Menduduki jabatan menteri bukanlah kemaunku. Aku menduduki jabatan yang bukan pilihanku itu dengan sikap yang dingin saja. Tetapi, setelah tidak bisa menghindari kenyataan bahwa jabatan Menteri Agama itu benar-benar diletakkan di atas pundakku, aku tak bisa main-main dengan jabatan itu. Aku tidak boleh separuh hati. Aku harus bekerja dengan betul-betul. Bismillah. Tugas Menteri Agama adalah tugas perjuangan,” tulisnya dalam autobiografi berjudul Berangkat Dari Pesantren (Lkis Pelangi Aksara: 2013).
Pada hari Jumat 17 Februari 1962, Saifuddin dipanggil oleh Presiden Sukarno ke Istana Merdeka. Dalam perjumpaan itu, ia ditawari sebagai menteri untuk menggantikan posisi KH Wahib Wahab. Menurut Presiden, dalam pelantikan Saifuddin, berkali-kali Wahib Wahab meminta mundur karena merasa cape. Namun, saat itu juga Wahib Wahab juga sedang tertimpa musibah; pada Oktober 1962, ia diadili karena dituding melanggar peraturan devisa dan hukum 10 tahun penjara serta membayar denda Rp15 juta—tapi orang dekat Wahib, H Madchan mengatakan hukuman penjara itu hanya berlangsung kurang dari sebulan (Azyumardi Azra & Saiful Umam (ed): 198).
Saifuddin saat itu merasa terkejut dan mengatakan masih banyak tokoh lain yang lebih layak, salah satunya KH M Iljas. Sayangnya, Bung Karno sudah telanjur cocok dengan dirinya. Proses penerimaan ini termasuk alot. Sukarno telah tiga kali memanggilnya sejak sepekan pertemuan di Istana, tapi Saifuddin masih berat menerimanya. Ia beralasan ingin bertemu Wahib Wahab, saran istrinya, dan tokoh NU seperti Rais Aam KH Wahab Chasbullah serta Ketum PBNU Idham Chalid. Kiai Wahab mengatakan kepada Saifuddin mengapa untuk perbuatan yang jelas baik harus menunggu istikharah.
Dalam autobiografinya, Saifuddin menceritakan, sepulang dari pertemuan dengan utusan presiden dan Idham Chalid, dirinya meminta kepada istri untuk menyendiri. “Dini hari bangun, berwudlu, salat beberapa rakat, bermunajat dan istighfar...” tuturnya.
Mandiri dan pekerja keras sejak kecil
Saifuddin adalah pemuda dengan pengalaman luar biasa, sejak kecil ia telah hidup mandiri, kerja keras, dan sangat berbakti kepada orangtuanya.
Ia berasal dari keluarga santri, ayahnya bernama H Muhammad Zuhri adalah keluarga petani santri yang memiliki delman, sedangkan ibunya Siti Saudatun adalah keturunan keluarga priyayi, tapi memilih menjadi pedagang santri. Hampir setiap malam ia mengantar dan menjemput ibunya yang mengaji kepada Nyai Ma’nunah atau Nyai Sulimah.
Ia mengorbankan waktu bermainnya untuk membantu ayahnya mengurus kuda dan delman demi bisa masuk Madrasah Al Huda. Dalam skripsi Dyo Bhakti Laksono, mahasiswa UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri Purwokerto bertajuk Prof KH Saifuddin Zuhri: Studi Biografi dan Pemikiran di Indonesia (1919-1986) digambarkan bahwa Saifuddin sangat mengagumi Ustad Mursyid, guru sekaligus pemimpin madrasah tersebut. Ustad Mursyid dinilai sebagai sosok gagah, pancaran wajah cerah, ramah, dan mengagumkan.
Pada 1937, Saifuddin pergi ke Solo melanjutkan belajar agama. Di kota ini, ia juga aktif dalam pergerakan Islam, nasional, dan jurnalis. Dalam perjalanan hidupnya, ia aktif sebagai Ketua Gerakan Pemuda Ansor NU, menjadi Pemimpin Redaksi Duta Masyarakat, anggota Parlemen Sementara, dan Sekjen PBNU.
Di masa kemerdekaan, ia ikut berjuang di pertempuran 20 hari di Ambarawa (November-15 Desember 1945) dengan memimpin Laskar Hizbullah yaitu sebagai komandan Hizbullah Divisi Sultan Agung. Kini tiap 15 Desember diperingati sebagai Hari Juang Kartika TNI AD atau sebelumnya Hari Infanteri.
Ia juga ikut bergerilya saat Agresi Militer Belanda I dan II. Ia bertugas mencari, menempatkan, dan menyelamatkan jalur pengungsian serta menyerang pos-pos Belanda dengan cara hit and run. Keterlibatan dalam gerakan operasi militer ini, ia dianugerahi tanda kehormatan Satyalancana Gerakan Operasi Militer VI oleh Kepala Staf ABRI Jenderal AH Nasution. Ia juga mendapatkan hadiah tanah dari masyarakat, yang akhirnya dihibahkan untuk dibangun pesantren.
Tegas soal nepotisme
Saifuddin merupakan sosok dengan kepribadian tegas dan berintegritas. Ini ditunjukkan dalam beberapa kali kesempatan. Bahkan, saat berdialog dengan Sukarno pun, ia menunjukkan sikap yang berani dan jujur, salah satunya ketika rencana pembubaran HMI. Saifuddin menolak dengan tegas.
“Mengapa HMI akan dibubarkan,” tanya Saifuddin kepada Bung Karno.
Dijawab Presiden, “Berbagai laporan disampaikan kepada saya bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan anti-revolusi dan bersikap reaksioner.”
Dalam dialog itu, Saifuddin sempat sedikit emosi, tapi mulai mengaturnya dengan tetap hormat kepada Presiden. Menurut Saifuddin, HMI adalah anak-anak muda yang bakal menjadi kader bangsa.
“Kalau bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gewetan bapak. Maka tugasku sebagai pembantu bapak hanya sampai di sini...!” tutur Saifuddin.
“Ooooh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara membantu saya...” balas Presiden sambil tersenyum, lalu berjabat tangan. “Baiklah HMI tidak saya bubarkan.”
Adapun soal nepotisme, ia juga tak mau bermain-main. Ini terlihat dalam kisahnya saat bertemu dengan Mohammad Zainuddin Dahlan, tokoh masyarakat asal Purworejo, Jawa Tengah.
Diceritakan, Dahlan sejak lama memendam keinginan untuk beribadah haji. Suatu kali, ia bertekad menyampaikan maksud itu kepada Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Ia mengira bakal dibantu oleh sang menteri karena perannya di bidang keagamaan dan pendidikan sudah dikenal.
Dalam kesempatan pertemuan itu, sepintas lalu dengan cara yang sangat halus Dahlan mengutarakan keinginannya bisa menjajaki kemungkinan berhaji “Abidin” (atas biaya dinas), alias dibiayai Depag.
Sebagai kakak ipar, masak sih Saifuddin Zuhri tidak membantu, begitu dalam pikiran Dahlan kala itu. Apa yang didapatnya dari Saifuddin justru membuat dia terkejut. "Ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan," ujarnya seperti dikutip dalam buku Ulama Pejuang Kemerdekaan.
Menjalani hidup sederhana
Setelah pensiun dari jabatannya, Saifuddin diam-diam berjualan beras di Pasar Glodok sekitar tahun 1980-an. Mulanya, tidak ada yang tahu, tapi keluarganya mulai menaruh curiga padanya karena sehabis salat Dhuha atau sekitar pukul 09.00, ia selalu keluar rumah dan berkendara sendiri. Siang harinya, selepas Zuhur, baru tiba di rumaha.
Aktivitas tersebut selalu berlangsung setiap hari. Ternyata, Saifuddin berjualan beras setelah dipergoki anaknya. Menurut Ahmad Baihaqi, salah satu anak Saifuddin, ayahnya berjualan beras karena uang pensiun yang diterimanya tak cukup untuk membiayai keluarga sehari-hari.
Di mata Baihaqi, ayahnya adalah seseorang dengan pribadi yang disiplin. Kepada anak-anaknya, Saifuddin selalu menanamkan kedisplinan salat berjamaah dan mengaji. Di bulan Ramadan, anak-anak juga diminta khatam Al Quran, demikian terang Baihaqi dikutip dari artikel “Tolak Hajikan Adik, Berdagang Beras Usai Berhenti Jadi Menteri” (Detik.com, 23 Oktober 2017).[]