APAKAH korupsi itu sebuah budaya?
Pertanyaan itu hampir selalu terlontar di tengah masyarakat ketika menanggapi munculnya kasus-kasus korupsi. Pemenjaraan terhadap para koruptor oleh aparat hukum seolah-seolah tak cukup menyadarkan pejabat negara dan individu-individu lainnya untuk berhenti korupsi.
Jelas, korupsi bukanlah budaya. Budaya seharusnya sesuatu yang baik, bukan tindakan kriminal yang menyebabkan kerugian bagi orang lain.
Di sisi lain, banyak orang menganggap korupsi sebatas maling duit rakyat (negara). Perbuatan korup tidak sesempit itu, loh!
Setidaknya ada tujuh kelompok jenis korupsi, menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 21/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, antara lain mengakibatkan kerugian negara, suap-menyuap, gratifikasi, benturank/konflik kepentingan dalam pengadaan, pemerasan, perbuatan curang, dan penggelapan dalam jabatan.
Tiga perbuatan berikut paling sering terjadi di masyarakat, bahkan seringkali dianggap biasa—padahal tindakan ini tanpa disadari sebagai pemicu awal atau pembentuk watak korupsi. Ini lantaran manusia secara alamiah memiliki watak bawaan yaitu rakus, juga kepribadian yang dibentuk oleh faktor lingkungan.
“Di negara yang sangat korup, perilaku korupsi yang banal (sudah dianggap biasa) terjadi melalui proses tiru-meniru dalam lingkungannya, dan menutup mata terhadap korupsi. Hal ini membuahkan komentar bahwa korupsi telah membudaya di negara tersebut,” tulis Etty Indriati dalam buku Pola Akar Korupsi Menghancurkan Lingkaran Setan Korupsi (2014).
Pertama, uang terima kasih kepada petugas layanan publik
Memberikan uang terima kasih sudah menjadi “umum” dilakukan oleh masyarakat saat berhubungan pelayanan publik. Tahukah #KawanAksi bahwa ternyata pemberian tip sebagai tanda terima kasih kepada petugas pelayanan publik bisa termasuk suap. Alasannya, semua pejabat publik menerima gaji dari negara. Apa yang telah dilakukannya adalah tugasnya, termasuk saat melayani masyarakat.
Sayangnya, kebiasaan pemberian uang terima kasih ini sudah seperti budaya di Indonesia, sampai-sampai muncul rasa tidak enak jika tidak memberikan uang setelah diberi bantuan. Padahal, selama masih berkaitan dengan tugasnya, maka #KawanAksi tidak boleh memberikan tanda terima kasih dalam bentuk apa pun.
Kedua, hadiah kepada guru atau pihak berkepentingan
Pemberian hadiah kepada orang lain pada dasarnya boleh dan dianjurkan sesuai ajaran agama. Hanya saja, pemberian hadiah ini menjadi masalah bila berkaitan dengan pelayanan publik atau melibatkan penyelenggara negara.
Misal, seorang guru wali kelas menerima hadiah dari muridnya. Pemberian ini tentu, selain membuat kecemburuan sosial, juga termasuk bentuk gratifikasi. Hadiah tersebut bisa mempengaruhi profesionalisme sang guru dalam mengajar, sehingga bisa lebih mengutamakan murid yang memberikan hadiah itu.
Jika memang ingin memberikan, maka #KawanAksi dan para orang tua murid lainnya bisa bersama-sama mengadakan acara bersama sang guru dan semua murid. Jadi, tidak ada anak yang akan diistimewakan setelah “pemberian terima kasih” pada guru tersebut. Selain itu, lakukan saat tahun ajaran telah berakhir agar tidak ada tanam budi dalam pemberian tersebut.
Ketiga, mengharapkan dan menerima uang “serangan fajar”
Berdasarkan survei yang dilakukan Surabaya Survey Center sepekan sebelum Pilkada Jawa Timur 2018. Hasilnya, hanya sekitar 0,9 persen responden yang menyatakan akan menolak uang/barang “serangan fajar”, sedangkan 99,1 persen responden akan menerima serangan fajar.
Dari jumlah penerima tersebut, 11,3 persen responden akan mencoblos pemberi, 13,5 persen akan mencoblos yang memberi serang fajar tertinggi, dan 47,4 persen akan tetap pada pilihan utamanya, tidak terpengaruh serangan fajar.
Survei tersebut membuktikan serangan fajar dianggap hal yang biasa, bahkan ada yang menganggap rezeki menjelang pemilu. Padahal, serangan fajar adalah pengkhianatan integritas. BACA:
Untuk mengingatkan masyarakat tentang bahaya serangan fajar, KPK meluncurkan kampanye “Hajar Serangan Fajar”. Kampanye ini tidak hanya menyasar masyarakat agar tidak menerima serangan fajar saja, tetapi juga para politisi yang akan bersaing dalam pemilu agar tidak memberikan serangan fajar pada masyarakat. Faktanya serangan fajar hanya membuat biaya politik membengkak dan berujung pada tindakan korup.
Perilaku koruptif memang berbeda dengan tindakan korupsi, tetapi membiasakan perilaku koruptif dalam kehidupan sehari-hari secara tidak langsung telah membenarkan tindakan korupsi. Seperti pemberian uang terima kasih atau hadiah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Bagaimana jika seandainya penerima gratifikasi tersebut naik jabatan dan berhasil memperoleh kewenangan tertentu? Kebiasaan menerima gratifikasi dengan alasan “terima kasih” bisa saja terus terbawa. Akibatnya, terjadilah tindak pidana korupsi yang lebih besar.
Jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang bersih dari korupsi, lakukan langkah sederhana dengan menghentikan semua perilaku koruptif berkedok “budaya”, sehingga, tujuan menciptakan Indonesia sebagai negara antikorupsi bisa tercapai. [*]