TRADISI saling memberi-menerima yang umum di masyarakat merupakan sesuatu yang positif sebagai bentuk solidaritas dan gotong royong.
Sayangnya, jika budaya itu diterapkan dalam sistem birokrasi di lingkup pemerintahan, bisa menghambat upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Terlebih, pemberian kepada pejabat publik cenderung pamrih dan bisa memengaruhi kinerja pejabat dalam jangka panjang.
Oleh karenanya, hadiah yang tadinya sesuatu hal yang biasa, kemudian berubah menjadi “hadiah terselubung” (disguised gift) atau suap. Meski secara konseptual sama, hadiah dan suap memiliki perbedaan dalam hal sifat dasar hubungan, kata Peter Verzehen dalam makalah bertajuk From a Culture of Gifts to a Culture of Exchange (of gifts): An Indonesian Perspective on Bribery.
Gratifikasi dan suap memang sulit dibedakan karena keduanya melibatkan pemberian sesuatu sebagai imbalan dalam transaksi. Perbedaannya terletak pada fakta, bahwa dalam suap-menyuap, pemberian menjadi syarat transaksi berhasil, sedangkan gratifikasi diberikan sukarela dengan harapan terima manfaat di lain waktu.
Meski gratifikasi sering dianggap sebagai ucapan terima kasih yang wajar, sebenarnya pemberiannya mungkin dipengaruhi oleh posisi atau jabatan seseorang, dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa depan. Inilah bahayanya: ada upaya tanam budi.
Sejak 2004—2023, tindak pidana korupsi gratifikasi dan suap merupakan paling tertinggi ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu sebanyak 989 kasus. Kasus-kasus ini melibatkan berbagai profesi seperti kepala daerah, pejabat eselon, anggota parlemen, hakim, dan pengusaha swasta.
Mengapa gratifikasi dan suap begitu marak terjadi dalam perkara korupsi di Indonesia?
Dalam makalah “Korupsi Berjamaah: Konsensus Sosial Atas Gratifikasi dan Suap” yang dimuat di
Jurnal Integritas Vol. 4/ No. 2/2018, Supeni Anggraeni Mapuasari dan Hadi Mahmudah menyebutkan bahwa tiga hal yang mempersubur pratik gratifikasi dan suap.
Mereka menggunakan landasan teori Fraud Triangle yang diperkenalkan oleh Donald R. Cressey (1950), kriminolog AS, bahwa tindak kecurangan terjadi karena perpaduan tiga hal yaitu tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi (pembenaran).
Pertama, tekanan.
Pada 2013, Dellaportas dalam makalah berjudul Conversations with inmate accountants: Motivation, opportunity and the fraud triangle, membagi tekanan dalam empat kategori, antara lain
- Tekanan finansial, seperti keserakahan, hutang, kebutuhan tak terduga, dan gaya hidup konsumtif, bisa mendorong seseorang untuk terjerumus dalam korupsi.
- Tekanan pekerjaan, seperti ambisi karier juga bisa mendorong seseorang untuk menyuap demi promosi atau posisi tertentu. Kasus suap untuk memastikan kenaikan karier di Akademi Kepolisian adalah contohnya.
- Tekanan akan peluang karier juga menjadi pendorong korupsi, seperti dalam kasus mutasi dan promosi jabatan.
- Tekanan lain, seperti judi, narkoba, ambisi kekuasaan, juga dapat membuat seseorang terjerumus dalam korupsi.
“Ketika tekanan bertemu dengan kesempatan, motivasi untuk melakukan korupsi semakin kuat. Kesempatan ini dapat muncul karena kurangnya kontrol, ketidakjelasan hukuman, dan kurangnya tanggung jawab. Ini mencerminkan teori pilihan rasional, di mana manusia selalu mempertimbangkan risiko dan keuntungan sebelum mengambil keputusan,” tulis Supeni dan Hadi.
Kedua, faktor individu.
Faktor individu di sini berkaitan pembenaran (rasionalisasi) atas tindakan yang dilakukan. Terdapat tiga jenis rasionalisasi yang kerap dibahas, tutur Supeni dan Hadi, antara lain:
- Denial of responsibility. Pelaku menyangkal tindakan korupsi dengan alasan satu-satunya pilihan yang tak bisa dihindari lantaran sistem yang ada telanjur berjalan keliru. Mereka merasa terpaksa melakukan korupsi karena kondisi yang ada, dan ini adalah cara untuk menghindari tanggung jawab. Mereka merasa bahwa sebagai bagian kecil dari sistem, mereka tidak bisa menghindari korupsi.
- Denial of injury. Penerima suap atau gratifikasi menggunakan argumen ini karena mereka merasa tidak bersalah. Mereka yakin tindakan tidak membahayakan organisasi dan beranggaman bahwa uang yang mereka terima adalah hadiah dan tidak merugikan organisasi, karena semuanya masih berjalan dengan lancar.
- Denial of victim. Korban suap dan gratifikasi biasanya tidak jelas, sulit diidentifikasi, dan tidak merugikan pihak terdekat dengan pelaku. Ketidakjelasan ini membuat penerima tidak merasa bersalah dan merasa tidak merugikan siapapun. Semakin tidak jelas dampak dari perilaku menyimpang, semakin mudah bagi pelaku untuk mengatasi rasa bersalah dan merasa bahwa perilaku tersebut wajar.
Ketiga, faktor budaya.
Korupsi tidak hanya disebabkan oleh keserakahan manusia, tetapi juga didukung oleh proses logis yang dipelajari. Di sisi lain, menurut Supeni dan Hadi, para pelanggar hukum bahkan berusaha membentuk budaya pelanggaran untuk mengubah persepsi negatif menjadi positif.
Dalam konteks korupsi, gratifikasi sering dianggap sebagai hadiah biasa tanpa paksaan, mirip dengan bingkisan dalam hubungan pertemanan.
Penerimaan gratifikasi atau suap menciptakan pembelajaran sosial di masyarakat. Para penerima cenderung mengharapkan gratifikasi di masa depan, sedangkan pemberi merasa terdorong untuk terus melakukan praktik tersebut karena stigma ekspektasi dari penerima.
“Hubungan timbal balik ini sulit untuk dihapuskan karena sejalan dengan budaya kolektivis di Indonesia,” tutur Supeni dan Hadi.
Teori pembelajaran sosial juga berlaku di tingkat kepemimpinan, di mana perilaku korupsi dari pimpinan bisa menjadi contoh bagi bawahan. Bawahan cenderung meniru perilaku yang mereka lihat dari atasan.
Jika atasan melakukan korupsi, bawahan merasa berhak mendapatkan keuntungan yang sama dan akan cenderung melakukannya juga. Teori ini sering digunakan dalam penelitian tentang kecurangan.
BACA:
Widyaiswara Ahli Madya KPK M Indra Furqon menyatakan bahwah masih banyak kalangan penyelenggara negara yang belum memahami apa itu gratifikasi.
Itu terbukti dengan pernyataan sekelas mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini. Ia dengan ringan kepada pers mengatakan: “Saya tidak melakukan korupsi, tetapi saya kelihatan masuk masalah gratifikasi,” tutur Rudi pada 14 Agustus 2014 usai ditangkap KPK.
Kondisi tersebut sungguh miris sekali. Padahal, gratifikasi termasuk dalam 7 kelompok tindak pidana korupsi.
“Kasus gratifikasi juga tidak pandang waktu kejadian,” kata Indra dalam presentasinya berjudul “Gratifikasi vs Keluarga” saat pembekalan antikorupsi untuk pasangan penyelenggara negara dalam program Penguatan Antikorupsi bagi Penyelenggara Negara (PAKU Integritas) KPK.
Kasus pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo adalah contohnya. Rafael divonis 14 tahun pada akhir 2023 lantaran menerima gratifikasi sejak 2015 dari berbagai wajib pajak yang memiliki masalah perpajakan.
Berikut ini, menurut Indra, beberapa rasionalisasi atau pembenaran seseorang ketika menerima gratifikasi, antara lain:
- sekadar tanda terima kasih
- pemberian cuma-cuma dan ikhlas
- hanya yang uang receh dan sedekah
- yang penting tidak menerima suap
- tidak ada kerugian keuangan negara
- karena saya bekerja profesional
- proyeknya sudah selesai
- tidak mempengaruhi keputusan saya
- budaya ketimuran dan tradisi
- gaji pegawai negeri kecil
- dianjurkan dalam aga agar saling memberi hadiah
Satu fenomena yang juga rentan gratifikasi ialah saat pejabat pusat menerima oleh-oleh atau buah tangan dari instansi daerah. Indra meyoroti hal ini karena sering terjadi dan dianggap lazim.
Padahal, “Dari mana sumber dana oleh-oleh tersebut? Jika anggaran itu berasal dari anggaran jamuan makan, ya seharusnya untuk dihidangkan pada saat kegiatan. Tapi, anggaran ini menjadi disalahgunakan jika disiapkan untuk oleh-oleh,” Indra menegaskan.
Pendek kata, alokasi anggaran oleh-oleh sebetulnya tidak ada. Jadi, sumber dana oleh-oleh itu bisa sangat sumir; jangan-jangan dana itu berasal dari pengumpulan dana operasional melalui kegiatan fiktif dan perbuatan curang lain. Atau, bisa pula rekanan atau pihak ketiga diminta oleh instansi tersebut untuk menyiapkan oleh-oleh. Apakah hal seperti ini kita masih mau menerima oleh-oleh, lagi?
Memberantas korupsi tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Setiap individu memiliki peran masing-masing dalam mencegah tindak korupsi di lingkungan sekitarnya. Satu langkah sederhana ialah menjaga nilai-nilai integritas di kehidupan sehari-hari.[]