KORUPSI berdampak begitu besar bagi negara dan masyarakat. Salah satunya, kerugian finansial dan ekonomi. Dengan kerugian seperti itu sangat mempengaruhi kualitas pelayanan publik.
Di sisi lain, praktik korupsi juga membuat orang kaya bertambah kaya, orang miskin menjadi miskin, karena program pembangunan tidak berimbas pada masyarakat; golongan tertentu yang mengindari pajak dengan cara menyuap membuat pendapatan negara berkurang, sehingga alokasi anggaran kesejahateraan sosial, sekolah, rumah sakit atau jalan, misalnya, menjadi tidak optimal.
Ketika penyediaan atas pelayanan dasar tersebut tidak terwujud, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah atau pemimpinnya.
Dalam buku Routledge Handbook of Political Corruption (2015) dikatakan bahwa korupsi bagian dari apa yang disebut “jebakan kesenjangan” (inequality trap). Pendek kata, rumusnya seperti ini: inequality → low trust → corruption → more inequality (ketimpangan → kepercayaan rendah → korupsi → lebih banyak lagi ketimpangan)
Ketimpangan bisa melahirkan korupsi karena (1) warga negara melihat sistem yang ada merugikan mereka; (2) menimbulkan rasa ketergantungan warga biasa dan rasa pesimisme terhadap masa depan, yang pada gilirannya melemahkan ajakan moral untuk memperlakukan orang dengan jujur; dan (3) mendistorsi institusi utama keadilan dalam masyarakat, yaitu pengadilan, yang dianggap oleh warga biasa sebagai pelindung mereka dari pelaku kejahatan (Glaeser et al. 2003; You dan Khagram 2005).
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp238,14 triliun selama 10 tahun terakhir (2013-2022. ICW mencatat data ini berdasarkan putusan korupsi yang dikeluarkan oleh pengadilan tingkat pertama hingga kasasi.
Data detailnya seperti berikut ini:
- Tahun 2013 : Rp3,46 triliun
- Tahun 2014 : Rp10,69 triliun
- Tahun 2015 : Rp1,74 triliun
- Tahun 2016 : Rp3,08 triliun
- Tahun 2017 : Rp29,42 triliun
- Tahun 2018 : Rp9,29 triliun
- Tahun 2019 : Rp12 triliun
- Tahun 2020 : Rp56,74 triliun
- Tahun 2021 : Rp62,93 triliun
- Tahun 2022 : Rp48,79 triliun
Apa itu kerugian negara?
Dalam buku edukasi antikorupsi Pantang Korupsi Sampai Mati (KPK: 2015) dijelaskan tentang konsep kerugian keuangan negara yang berkaitan dengan korupsi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, konsep kerugian keuangan negara mengandung delik formil. Unsur “dapat merugikan keuangan negara” artinya tindakan akan dianggap merugikan keuangan negara ketika suatu tindakan tersebut berpotensi menyebabkan kerugian negara secara langsung maupun tidak langsung. Jadi, apakah secara nyata kerugian negara memang terjadi atau tidak, bukanlah hal yang penting.
Disebutkan pada Pasal 32 ayat 1, bahwa ketentuan penting lainnya mengenai kerugian keuangan negara, yaitu: Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Adapun Pasal 32 Ayat (2) juga disebutkan bahwa meski dalam kondisi tidak cukup bukti untuk menuntut dalam perkara tindak pidana korupsi, jika secara nyata ada kerugian keuangan negara yang terjadi, bisa dilakukan penuntutan kerugian terhadap keuangan negara.
Kerugian keuangan negara yang mungkin terjadi karena korupsi
Dalam artikel “Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Yunus Husein, mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyebutkan, terdapat tiga transaksi yang dapat berpotensi menyebabkan kerugian negara, yaitu transaksi barang dan jasa, transaksi yang terkait utang piutang, dan transaksi terkait biaya dan pendapatan.
Sementara itu, dalam buku Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi, Yunus juga menjelaskan tentang tujuh kerugian keuangan negara yang mungkin terjadi dari tiga transaksi tersebut, yaitu:
- Pengadaan barang dengan harga tidak wajar akan menyebabkan kerugian keuangan negara dari selisih harga normal dengan harga yang digunakan saat ini.
- Harga wajar tetapi kualitas kurang baik dampaknya akan membuat barang tersebut menjadi lebih cepat rusak dan mungkin diperlukan perbaikan atau bahkan penggantian barang yang baru.
- Adanya transaksi yang memperbesar utang negara dampaknya kewajiban negara untuk membayar utang semakin besar dan memberatkan keuangan negara.
- Piutang negara berkurang tidak wajar juga dapat menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara.
- Aset negara berkurang karena dijual murah atau dihibahkan pada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta maupun perseorangan.
- Memperbesar biaya instansi perusahaan, caranya yaitu dengan melakukan aktivitas fiktif, adanya pemborosan, dan tindakan lainnya yang membuat pengeluaran besar tetapi pendapatan kecil.
- Manipulasi laporan penjualan, di mana hasil penjualan yang dilaporkan lebih kecil dibandingkan dengan total penjualan yang terjadi secara nyata.
Pengadaan barang dengan harga tidak wajar atau harga wajar dengan kualitas tidak sesuai standar merupakan salah satu contoh yang cukup banyak terjadi. Umumnya, melibatkan tindak pidana korupsi suap menyuap antara peserta tender dengan pejabat negara yang memiliki wewenang memutuskan pemenang tender.
Selain tujuh poin di atas, kerugian keuangan negara juga bisa terjadi dari berbagai faktor, seperti biaya sosial korupsi. Meski ada kerugian keuangan negara yang terjadi dalam setiap tindak pidana korupsi, penerapan pengembalian kerugian keuangan negara oleh para koruptor masih belum efektif.
Bahkan, sekali pun ada uang penggantian nominalnya masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan kerugian keuangan yang ditimbulkan. Hal ini yang kita harus dorong agar koruptor dimiskinkan dan asetnya dirampas untuk dikembalikan ke negara. Mereka telah melecehkan negara dan masyarakat yang telah dirampas hak-haknya. [*]