POLITIK seringkali dicap sebagai aktivitas curang, buruk, dan cenderung hipokrit. Tontonan saling serang di masa kampanye atau media (massa maupun sosial), sebatas “kamuflase” atas kepentingan sesaat. Berjalannya waktu mereka sudah duduk satu meja, bersatu dalam sebuah kepentingan tertentu. Kejadian ini paling sering kita lihat dalam politik Indonesia.
Padahal, politik di mata Aristoteles (384-322 SM), filsuf Yunani, adalah sesuatu yang positif, berfungsi untuk mencapai tujuan bersama. “Politik memberikan kerangka bersama dalam kehidupan sosial untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik,” tulis Airlangga Pribadi Kusman, PhD lewat artikel “Politik dan Korupsi” dalam
Modul Politik Cerdas Berintegritas (PCB) untuk Mahasiswa (KPK: 2016).
Di Indonesia, praktik politik sarat dengan transaksional, terlihat jelas saat musim pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Di masa kampanye, para kandidat memainkan apa yang disebut politik patronase.
Politik patronase ialah relasi pertukaran antara patron (seseorang yang memiliki status sosial-ekonominya tinggi) dan klien (seseorang yang lebih rendah kedudukannya). “Di sini, konstruksi relasi terjadi atas dasar kepentingan. Patron memiliki kepentingan dalam mencapai kekuasaan, sedangkan klien memiliki jaminan baik ekonomi maupun status sosial dari patron itu sendiri,” demikian dikutip dari buku Patronase Politik dalam Perspektif Hukum Islam (Penerbit Adab: 2022).
“Patron-klien tumbuh subur pada masyarakat yang memiliki persoalan sosial, dan ekonomi yang komplek seperti minimnya sumber daya alam yang tersedia. Lapisan sosial masyarakat yang mengalami umumnya di kalangan petani, nelayan, dan pedagang. Di pedesaan atau pinggiran kota, bentuk hubungan antara patron (tuan) klien (pekerja), dengan cara memberikan bantuan terhadap keperluan klien.”
Oleh karenanya, patronase mewujud karena adanya hubungan yang tidak setara, tetapi saling membutuhkan; dengan kata lain, hubungan berlandaskan pertukaran kepentingan.
Berdasarkan glosarium
The U4 Anti-Corruption Resource Centre, patronase adalah dukungan atau sponsor dalam bentuk uang, jabatan, ataupun proyek dari seorang patron (elite politik atau orang berpengaruh) kepada klien (rakyat atau simpatisan) dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan, kekayaan, dan status.
Sementara itu, Devy Dhian Cahyati & Yonatan Hans Luter Lopo dalam makalah
Daily Patronage Politics: A Village Chief ’s Route to Power (2019), mengatakan, patronase sengaja dilakukan oleh elite politik untuk mendapatkan dukungan pemilih dan mendapatkan kekuasaan, terutama bila mereka berada dalam situasi yang mampu mengendalikan organisasi (partai politik) dan memilih pemegang jabatan.
Praktik “pemberian” uang atau sesuatu yang bernilai ekonomi itu, biasanya kandidat politik juga disokong oleh pihak swasta baik personal maupun korporasi.
Efek politik patronase itulah yang memicu para kandidat ketika sudah berkuasa cenderung bersikap koruptif demi melanggengkan kekuasaan, juga faktor “membayar utang” kepada para donatur yang telah menyokongnya selama kampanye politik—istilah ini populer dengan politik balas budi.
Dalam buku Corruption and Governance in Asia (Palgrave Mcmillan: 2003) disebutkan bahwa korupsi umumnya didefinisikan sebagai “penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi”. Tapi, kini definisi itu diperluas seiring beralihnya perhatian pada korupsi di sektor swasta atau melibatkan swasta.
Airlangga mengatakan, klientilisme adalah salah satu bentuk korupsi politik yang berlangsung dalam hubungan kekuasaan politik yang bercorak patron-klien.
“Hubungan politik patron-klien terjadi ketika elite-elite yang memiliki otoritas kekuasaan maupun posisi politik (kepala daerah, politisi, elite dan pejabat partai, anggota legislatif) mengeksploitasi kemiskinan dari konstituen maupun warga dengan jalan memberikan janji pekerjaan, perlindungan ekonomi-politik, dana untuk dipertukarkan dengan dukungan dan loyalitas politik,” tulisnya.
Klientilisme seperti itu, tutur Airlangga, dapat disebut sebagai tindakan korupsi, karena melalui relasi politik patron-klien, selain merusak tatanan politik berbasis kesetaraan dalam system demokrasi dihancurkan, juga cenderung mendistribusikan sumber daya publik kepada kelompok-kelompok tertentu pendukunganya dan meminggirkan yang lain.
Mengapa patronase politik terjadi?
Cahyati & Lopo (2019) mengungkapkan ada dua perspektif mengapa patronase politik marak digunakan untuk mendapatkan suara rakyat.
Pertama, patronase terjadi karena masih “ada permintaan dari masyarakat kurang mampu, yang membutuhkan bantuan finansial untuk kebutuhan pribadinya.” Perspektif kedua patronase “wajib ada sebagai wujud kebijakan paternalistik untuk menutupi minimnya jumlah politisi dengan kebijakan pragmatis.”
Pola patronase politik dalam pemilu
Dalam Modul Politik Cerdas Berintegritas, Airlangga melalui artikelnya “Ekonomi Politik Korupsi” menyebutkan terdapat tiga pola patronase politik dalam pemilihan umum di Indonesia:
- Vote buying. Jual beli suara merupakan strategi pembagian uang tunai atau barang oleh kandidat dan/atau partai politik kepada pemilih secara sistematis, dengan harapan bahwa para penerima akan membalas pemberian tersebut dalam bentuk memberikan suara mereka saat pemilihan umum. Di Indonesia, strategi ini awam dikenal dengan nama “serangan fajar” lantaran proses pemberiannya sering kali dilakukan secara diam-diam dan tiba-tiba. Ironisnya, praktik ini dilakukan secara sistematis dan terorganisir oleh tim pemenangan kandidat. Dalam banyak kasus politik uang yang terjadi, tim pemenangan ini akan membentuk tim khusus secara ilegal dan menggerakkan kelompok dalam skala besar untuk mendistribusikan uang dan barang kepada para pemilih.
- Pork barrel program. Populer dengan sebutan “program gentong babi” merujuk pada penggunaan skema bantuan sosial dari kandidat atau partai politik kepada pemilih menggunakan dana program pembangunan daerah dari pemerintah, dengan tujuan untuk mengikat dukungan politik dari pemilih. Praktik ini jelas saja merupakan tindakan korupsi atau penyelewengan. Pasalnya, kandidat mengambil dana program pembangunan, yang sebetulnya merupakan tanggung jawab negara, untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan kelompoknya sendiri. Temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa program ini sering kali berhasil berjalan karena adanya bantuan dari aparat birokrasi.
- Transaksi loyalitas. Jika kedua pola sebelumnya ditujukan untuk mengumpulkan suara pemilih, maka pola satu ini diberikan kepada para simpatisan atau pendukung kandidat dan partai politik selama masa kampanye. Oleh karenanya, transaksi loyalitas dapat berbentuk pembagian proyek pemerintahan juga memberikan jabatan kepada mereka yang mendukung kandidat selama masa kampanye.
Menghindari politik patronase
Untuk menciptakan pemilu dan politik berintegritas, #KawanAksi harus menolak segala bentuk patronase politik. Memilih pemimpin bukan transaksional materi, tapi karena bersumber dari nilai-nilai integritas. Mari kita wujudkan Indonesia yang maju dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme! [*]