SEBAGIAN orang menganggap sesuatu yang biasa cenderung dianggap benar. Misal, memberikan uang tanda terima kasih pada pejabat publik yang membantu pengurusan layanan publik. Padahal, membenarkan hal yang salah, hanya karena biasa, dapat menyebabkan munculnya bibit korupsi.
Menggelapkan uang
Penggelapan uang merupakan praktik korupsi yang jamak terjadi di masyarakat. Dalam komik ini, penggelapan digambarkan pada cerita berjudul “Dana ‘Liburan’”.
Diceritakan, seorang bupati diamanahi dana sebesar Rp3 miliar untuk perbaikan jalan. Dari dana tersebut, ia hanya menggunakan Rp2 miliar, sedangkan sisanya Rp500 juta untuk belanja istrinya dan Rp500 juta lain untuk berwisata ke luar negeri.
Selain mencuri uang rakyat, bupati telah mengurangi kualitas jalan; seharusnya dana itu dimaksimalkan untuk mendapatkan jalan yang bagus. Dampak dari praktik ini, jalan bisa lebih cepat rusak atau rawan menyebabkan bahaya lain bagi pengguna jalan.
Korupsi waktu
Bikin janji ketemu pukul 09.00 di suatu lokasi, ternyata baru berangkat dari rumah pukul 09.00. Ini juga bagian dari nirintegritas karena tidak menepati janji.
Sebagai generasi antikorupsi, #KawanAksi pasti tidak pernah melakukan hal tersebut, kan?
Dalam komik ini, korupsi waktu digambarkan dalam cerita berjudul “Jam Karet”. Diceritakan seorang pemuda sudah sampai di lokasi janjian tepat pukul 09.00, sesuai dengan kesepakatan awal. Kemudian, dia memberitahu di aplikasi obrolan grup, bahwa dirinya sudah tiba. Semua menjawab sudah di jalan, tetapi kenyataannya baru sampai 30 menit kemudian. Bahkan, mereka merasa telat adalah hal yang wajar dan biasa.
Banyak orang yang menganggap korupsi hanya berkaitan dengan materi. Padahal, datang terlambat saat janji seperti cerita di atas, menggunakan jam kerja untuk keperluan pribadi, atau pulang kerja lebih awal juga termasuk bentuk korupsi waktu, lho!
Selain itu, orang yang terbiasa melakukannya juga akan dianggap sebagai orang yang tidak disiplin dan tidak menghargai waktu.