Dalam terminologi hukum, suap didefinisikan sebagai “pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya,” demikian dikutip dalam buku Delik-Delik Korupsi (2020) karya Mahrus Ali dan Deni Setya Bagus Yuherawan.
Disebutkan pula, suap disepadankan dengan delik jabatan karena suatu pemberian sesuatu atau janji pasti berhubungan dengan jabatan seseorang. Jabatan di sini dibatasi hanya pada jabatan publik, dan tidak termasuk jabatan di sektor swasta. “Sesuatu” yang dimaksud yaitu bernilai ekonomi.
Di situlah, suap termasuk dalam tindak pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Nomor tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyederhanakan korupsi dalam tujuh kelompok, antara lain menyebabkan kerugian negara, suap menyuap, gratifikasi, benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa, pemerasan, perbuatan curang, dan penggelapan dalam jabatan.
Dari ketujuh kelompok tersebut, pasal suap menyuap paling banyak dibandingkan kelompok lainnya, antara lain Pasal 5 ayat 1 huruf (a), Pasal 5 ayat 1 huruf (b), Pasal 13, Pasal 5 ayat 2, Pasal 12 huruf (a), Pasal 12 huruf (b), Pasal 12 huruf (c), Pasal 12 huruf (d) Pasal 11, Pasal 6 ayat 1 huruf (a), Pasal 6 ayat 1 huruf (b), dan Pasal 6 ayat 2.
Masing-masing pasal memiliki ciri kekhususan, mulai obyek pelaku hingga ancaman hukuman yang diberikan. Menurut Ali dan Yuherawan, setidaknya ada tujuh karakter dari delik suap dalam UU Pemberantasan Tipikor.
Pertama, bertemunya kehendak pemberi dan penerima untuk melakukan suap. Maka, dalam perkara suap baik pemberi dan penerima suap sama-sama dihukum. Kedua, niat jahat untuk melakukan perbuatan terlarang sebelum suap dilakukan.
Ketiga, objek suap adalah hadiah atau janji. Keempat, pemberi suap bisa siapa saja, sedangkan penerima suap adalah penyelenggara negara, pegawai negeri, hakim, dan advokat. Kelima, suap terkait jabatan penerima suap, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Keenam, dalam delik suap tidak berlaku pembalikan beban pembuktian. Baik pemberi suap maupun penerima suap tidak berkewajiban untuk membuktikan bahwa hadiah atau janji yang diberikan oleh pemberi suap atau penerima suap tidak ada kaitannya dengan jabatan publik penerima suap. Yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa hadiah atau janji bukanlah suap tetap jaksa penuntut umum.
Ketujuh, Operasi Tangkap Tangan dapat terjadi pada delik suap. Faktanya, mayoritas OTT KPK menyangkut perkara suap.