DATA Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2004 hingga Juli 2023 menyebutkan, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. Jumlah ini terbanyak ketiga, di bawah kasus korupsi yang menjerat kalangan swasta (399 kasus) dan pejabat eselon I-IV (349 kasus).
Fakta, mereka yang terlibat korupsi yaitu mulai anggota hingga pimpinan DPR/DPRD. Miris, bukan? Padahal, sebagai wakil rakyat seharusnya mereka fokus pada fungsinya untuk menyejahterakan seluruh masyarakat Indonesia.
Beberapa contoh korupsi di DPR
Jumlah kasus korupsi yang menyeret anggota DPR sangat banyak, berikut ini hanya diambil beberapa contoh:
Setya Novanto. Masih ingat dengan kasus ini? Kasus pada 2017 ini cukup menghebohkan karena diliputi drama. Kala itu di media sosial muncul tagar #IndonesiaMencariPapah. Ini lantaran usai ditetapkan sebagai tersangka, justru Setya Novanto menghilang, main “petak umpet” dengan KPK yang akan menjemputnya. Tiba-tiba Setnov, begitu panggilan Ketua DPR RI 2014-2019, muncul dengan drama kecelakaan mobil, konon, menabrak tiang listrik. Sang pengacara kala itu menyebut bahwa kliennya mengalami luka segede bakpau di kepala.
Setnov divonis bersalah pada 24 April 2018 atas kasus korupsi terkait proyek pengadaan KTP-el tahun anggaran 2011-2013. Hakim menyatakan Setnov telah mengatur pembahasan anggaran proyek di Kementerian Dalam Negeri tersebut. Ia diganjar 15 tahun penjara, denda Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan. Selain itu, wajib bayar uang pengganti US$7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan pada penyidik. Jika dinilai kurs 2010, uang penggantinya sekitar Rp66 miliar. Tidak hanya itu, hakim juga mencabut hak politik selama lima tahun usai masa pidana.
Dalam mega korupsi yang merugikan keuangan negara Rp2,6 triliun itu, Setnov menerima jam tangan merek Richard Mille dari pengusaha Andi Narogong, lalu dijual seharga Rp1 miliar. Dari “jasa” mengurus anggaran, Setnov menerima uang US$7,3 juta, yaitu dari pengusaha juga keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyu dan US$3,8 dari perusahaan milik Made Oka Masagung—keduanya sama-sama diganjar 10 tahun penjara dalam kasus ini.
Nyoman Dhamantra. Nyoman Dhamantra adalah anggota DPR RI periode 2014-2019. Nyoman terlibat kasus suap pengurusan Surat Persetujuan Impor (SPI) bawang putih di Kementerian Perdagangan dan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) di Kementerian Pertanian. Dalam kasus ini, Nyoman terbukti menerima Rp2 miliar dari total Rp3,5 miliar yang dijanjikan oleh Chandra Suanda alias Afung, Doddy Wahyudi, dan Zulfikar.
Atas kasus ini, Nyoman divonis 7 tahun penjara dan wajib bayar uang denda Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan. Selain itu, Nyoman juga diberi hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun setelah menyelesaikan hukuman pidana pokoknya.
Sukiman. Sukiman adalah anggota DPR periode 2014-2019 yang didakwa menerima suap senilai Rp2,65 miliar dan US$22 ribu. Sukiman menerima suap melalui Kepala Seksi Perencanaan Dana Alokasi Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan periode 2015-2017, Rifa Surya, dan tenaga ahli anggota DPR dari Fraksi PAN, Suherlan. Suap diberikan dengan tujuan supaya Kabupaten Pegunungan Arfak mendapatkan alokasi anggaran dari APBN Perubahan Tahun Anggaran 2017 dan APBN 2018.
Pada 29 April 2020, hakim memvonis enam tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair 3 bulan kurungan. Dalam banding, justru ia mendapatkan tambahan hukuman, yaitu pencabutan hak politik selama enam tahun dan wajib membayar uang pengganti Rp2,65 miliar dan US$22 ribu selambat-lambatnya satu bulan setelah keputusan. Jika tidak bisa membayar, hartanya dilelang dan jika kurang akan diganti kurungan dua tahun.
Dampak korupsi
Tingginya korupsi di kalangan anggota DPR RI akan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap lembaga yang seharusnya memperhatikan hak-hak rakyat ini. Praktik korupsi di lembaga legislatif bisa memberikan dampak, antara lain:
Menurunnya kepercayaan publik
Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia bertajuk” Evaluasi Publik terhadap Kinerja Pemerintah dalam Bidang Ekonomi, Politik, Penegakan Hukum, dan Pemberantasan Korupsi” (16-24 Juni 2022), 1.200 responden berusia 17 tahun lebih atau sudah menikah diminta memberi penilaian tingkat kepercayaannya terhadap 10 lembaga dan juga partai politik.
Hasilnya, DPR menempati posisi ke-9 dengan 62,6 persen, sedangkan partai politik menempati posisi terakhir dengan 56,6 persen. Padahal, partai politik merupakan jalan bagi masyarakat untuk masuk ke dunia politik, termasuk jika ingin menjadi wakil rakyat di lembaga legislatif.
Kondisi itu sangat memprihatinkan mengingat partai politik dan DPR memegang peran penting dalam sistem pemerintahan. Korupsi yang dilakukan anggota DPR semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Publik makin apatis terhadap politik
Politik seharusnya diisi oleh orang-orang berintegritas. Jika kondisi nyatanya justru sebaliknya, akhirnya politik dianggap oleh publik dunia tak bermoral. Kasus-kasus korupsi yang terjadi di DPR sangat mempengaruhi publik terhadap dunia politik.
Orang yang apatis terhadap politik artinya mereka tidak lagi percaya dan lebih memilih masa bodoh pada apapun terkait politik. Berdasarkan survei UMN Consulting pada Pemilu 2019, ada beberapa alasan pemilih, khususnya Gen-Z, yang memiliki golput. Apa alasan mereka? Sekitar 12.82 persen responden tidak percaya pemilu membawa perubahan dan sekitar 10,26 persen dari mereka merasa visi dan misi paslon tidak sesuai dengan ideologi diri.
Hal ini menjadi tantangan di setiap pemilu, termasuk pemilu 2024 mendatang. Padahal, tingginya golput berdampak besar bagi negara, termasuk dalam hal pemberantasan korupsi.
Jika #KawanAksi ingin Indonesia menjadi negara yang antikorupsi, yuk, gunakan hak pilih dan hindari golput!
Program pemerintah tidak berjalan
Korupsi yang terjadi di lembaga legislatif sangat berpengaruh pada program-program pemerintah yang berkaitan dengan masyarakat. Anggota DPR yang melakukan korupsi sangat mencederai hak-hak rakyat. Uang rakyat yang seharusnya dipakai untuk mewujudkan pembangunan fisik maupun non-fisik menjadi terhambat, bahkan sama sekali tidak terwujud. Dalam kasus korupsi KTP-el, misalnya, pengadaan barang yang seharusnya bisa berjalan lancar, akhirnya terhambat dan berefek pada warga sulit mengurus dokumen kependudukan.
Strategi berantas korupsi
KPK menerapkan tiga strategi pemberantasan korupsi untuk menciptakan negara Indonesia yang bersih dari korupsi, yaitu:
- Edukasi dan kampanye. Melalui program Politik Cerdas Berintegritas (PCB), KPK berusaha mengedukasi antikorupsi melalui partai politik yang menjadi jalan masuk masyarakat menuju dunia politik. Pada masyarakat umum, KPK juga memberikan edukasi berupa materi pendidikan antikorupsi yang disesuaikan dengan usia, untuk membangun perilaku dan budaya antikorupsi.
- Perbaikan sistem. Menciptakan partai politik yang antikorupsi serta menanamkan nilai integritas pada partai politik melalui SIPP (Sistem Integritas Partai Politik). Selain itu, meciptakan sistem baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang meminimalkan terjadinya peluang korupsi.
- Represif atau penindakan. Upaya penindakan hukum bagi koruptor untuk memberi efek jera dan takut sehingga tidak melakukan korupsi lagi.
Menciptakan sistem pemerintahan yang antikorupsi memang tidak mudah karena melibatkan banyak pihak. Namun, #KawanAksi bisa memulainya dengan hajar serangan fajar menjelang pemilu. Alasannya, karena jika ada calon legislatif yang memberikan serangan fajar, maka sudah pasti orang itu tidak berintegritas, sehingga mungkin saja akan melakukan korupsi setelah menjabat. Wahai, para calon legislatif dan pemimpin, jadilah pribadi yang berintegritas dan antikorupsi.*