PERNAH mendengar nama Pinocchio?
Nama itu sangat populer dan selalu diasosiasikan dengan kebohongan. Pada 1883, Carlo Collodi, penulis dongeng asal Italia, menciptakan karakter protagonis dalam kisah klasik The Adventures of Pinocchio.
Pinocchio atau Pinokio awalnya sebuah boneka kayu yang dibuat oleh pemahat Geppeto. Ia berubah menjadi anak laki-laki lewat bantuan peri. Dalam petualangannya sebagai anak laki-laki, ia memiliki karakter nakal dan suka berbohong.
Setiap kali berbohong, bertambah panjanglah hidung Pinokio. Ia gelisah. Di akhir cerita, ia sesal karena ulahnya itu. Tak lagi berbohong kepada Geppeto dan siapa pun. Akhirnya, ia menjadi anak laki-laki nyata yang baik. Cerita Pinokio ialah dongeng edukasi, mengajarkan kepada anak-anak jangan suka bohong.
Di dunia nyata, menurut sebuah studi, orang yang suka berbohong akan mengalami “Pinocchio Effect”. Terjadi perubahan suhu di bagian seputar hidung hingga sudut dalam pojok matanya, tulis Stephen J Costello dalam bukunya The Truth About Lying.
Berbohong berlaku universal; tidak memandang anak-anak atau dewasa, baik orang jelata hingga tokoh agama atau pemimpin ternama. Dan, setiap orang pasti pernah melakukannya, sekecil atau dalam konteks apa pun.
Terlebih di era sekarang, “Hidup adalah kebohongan, setengah kebenaran dan pengelakan. Kita hidup di zaman ketika kepercayaan adalah ‘mata uang’ yang sulit. Kita dibohongi setiap hari oleh media, pengiklan, pasangan, teman, rekan kerja, politisi,” kritik Costello.
Tulisan ini mengambil perspektif umum bahwa berbohong ialah tindakan buruk, negatif, dan tidak boleh dilakukan. Sementara itu kebohongan ada yang dikategorikan oleh sebagian kalangan sebagai kebohongan tidak serius atau “kebohongan putih”.
Mengapa berbohong atau praktik tercela itu dipilih atau diambil seseorang dalam keputusan dirinya? Banyak faktor. Bisa jadi karena upaya menyelamatkan diri, mengamankan citra, atau faktor tekanan dari luar dirinya.
Namun, pada dasarnya, sebagian besar orang baik anak-anak maupun dewasa termotivasi untuk berbohong karena alasan yang sama, hanya isinya yang berbeda.
Secara leksikal, menurut kamus daring Merriam Webster, bohong (lie: kata benda) diartikan sebagai sebuah tindakan berbohong. Berbohong (kata kerja) memiliki arti (1) membuat pernyataan tidak benar dengan maksud menipu dan (2) membuat kesan salah atau menyesatkan.
Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring memaknai bohong sebagai (1) tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta dan (2) bukan yang sebenarnya; palsu.
Dalam The Truth About Lying (2022) Profesor Victoria Talwar dari Departemen Psikologi Pendidikan dan Konseling, Univeristas McGill, menyebut bahwa secara umum kebohongan terjadi karena alasan dari mementingkan diri sendiri hingga altruistik.
Talwar mengelompokkan kebohongan dalam beberapa kategori, antara lain:
• kebohongan untuk menghindari dampak buruk/hukuman
• kebohongan untuk kepentingan pribadi
• kebohongan untuk merawat citra
• kebohongan untuk bersikap sopan
• kebohongan untuk membantu orang lain atau kelompok
• kebohongan altruistik.
Orang yang terbiasa berbohong, cenderung akan terus berbohong. Karena ia menganggap hal ini sebagai bentuk kewajaran; atau, sebagai tindakan untuk menutup tindakan bohong sebelumnya Mirip halnya korupsi—awalnya kecil-kecilan, tidak ketahuan, dan menjadi biasa. Lama-lama, ia menjadi candu dan terbiasa—mewajarkan tindakan dirinya sendiri (rasionalisasi).
Mengapa orang suka berbohong?
Secara umum, seseorang melakukan kebohongan karena beberapa faktor di bawah ini:
- Takut menerima hukuman atau efek buruk
Ini salah satu alasan mayoritas seseorang baik anak-anak maupun dewasa memilih untuk berkata bohong. Misalnya ketika anak tanpa sengaja merusak mainannya, ia berbohong bahwa itu rusak karena jatuh atau lebih parahnya menuduh orang lain merusak mainannya. Pada orang dewasa, misalnya, tak sedikit dari mereka tak mau jujur ketika mereka telah menggunakan komputer kantor untuk mengunduh film atau perangkat lunak demi kepentingan pribadi.
Alasan lain yang membuat seseorang sering berbohong adalah adanya benturan kepentingan. Ini terjadi di dunia kerja. Misalnya, ketika pengadaan barang di kantor.
Jika seseorang memiliki kepentingan pribadi, dia bisa berusaha mempengaruhi orang di sekitarnya agar mengambil keputusan sesuai dengan keinginannya. Dalam proses mempengaruhi tersebut, maka berbagai kebohongan akan dikatakan demi tercapainya tujuan. Tindakan ini jelas menjurus pada praktik korupsi.
Di kalangan anak-anak, pilihan untuk berbohong—meski ini bukan dalam konteks berbohong untuk menipu atau menyesatkan seseorang—dikarenakan ia butuh perhatian dari orangtuanya.
Misalnya, anak berpura-pura sakit. Terkadang juga, anak ingin diperhatikan dan mendapat pujian dari orang sekitarnya sehingga memilih berbohong. Misalnya dengan bercerita baru menolong orang saat di jalan padahal sebenarnya anak tidak melakukan apa-apa.
Pada orang dewasa, hal serupa juga terjadi di lingkup kerja. Seorang karyawan yang bersilat lidah atau “menciptakan sesuatu” agar menarik perhatian atau agar tidak terkena hukuman dari atasan.
Ini biasanya kerap dialami oleh anak-anak. Misalnya, ketika anak ingin mainan baru, tapi tak mendapatkan izin dari orangtua. Ia lalu sengaja menghilangkan mainannya agar keinginannya mendapat mainan baru bisa tercapai. Di kalangan dewasa, motif ini juga bisa terjadi, hanya berbeda pada keinginannya.
Peneliti Angela D. Evans dan Kang Lee dari laporan risetnya Emergence of Lying in Very Young Children (2013) menyebutkan berbohong adalah perilaku manusia yang pervasif (terinternalisasi dalam diri secara dalam) pada orang dewasa.
Namun, kemunculan berbohong seseorang, bahkan sejak usia muda antara 2-3 tahun. "Kemampuan berbohong berkaitan dengan perkembangan kognitif," laporan menyebutkan.
Konteks berbohong tersebut, menurut laporan, antara anak kecil dengan orang dewasa atau anak yang lebih tua tentu jelas berbeda. Anak usia dini bukan berbohong karena menyatakan suatu hal dengan maksud untuk menanamkan keyakinan yang salah kepada pendengarnya.
Fakta berbohong itu adalah bagian normal dari perkembangan anak kecil usia 2-3 tahun, kata Direktur Parenting Institute di New York University Child Study Center, Richard Gallagher. Namun, bukan berarti orangtua mengabaikannya. Orangtua tetap harus mengajarkan nilai-nilai kejujuran.
"Anak-anak prasekolah terlalu muda untuk memahami dengan tepat apa itu kebohongan," kata Gallagher, "Mereka tidak sengaja mendistorsi kebenaran…itu adalah ekspresi imajinasi mereka yang kaya."
Maka dari itu, orangtua janganlah bereaksi berlebihan dan menyebut anak sebagai pembohong—bahkan di usia berapapun; anak-anak di tahun awal sekolah antara usia 5-7 tahun, mereka berbohong karena ingin menghindari hukuman atau tanggung jawab.
Yang paling penting saat menanamkan integritas pada anak, orangtua juga harus memberikan contoh yang baik. Sifat jujur yang telah tertanam sejak masih anak-anak, harus selalu dipertahankan hingga dewasa.
Sayangnya, beberapa faktor berikut ini bisa mengikis sifat jujur anak-anak saat dewasa, antara lain:
Perasaan ingin dihargai atau dianggap eksistensi adalah sesuatu yang manusiawi dan wajar. Sayangnya, tidak semua orang mendapatkannya dengan cara yang benar. Beberapa orang rela melakukan kecurangan demi “dianggap hebat” di mata orang lain.
Kebohongan untuk menjaga perasaan orang lain sering disebut kebohongan putih. Contoh, memuji ide seseorang padahal ide yang dibagikan kurang bagus. Dilakukan demi menjaga perasaan—ewuh pakewuh, dalam budaya Jawa. Sayangnya, kebohongan putih ini tak sedikit dijadikan argumen para pembohong untuk mencari pembenaran.
Mempraktikkan kejujuran dalam sehari-hari
Meski seiring bertambahnya usia sikap jujur seseorang bisa terkikis, bukan berarti menanamkan sifat ini sejak kecil tidaklah penting. Dengan mengenal dan membiasakan diri sejak dini, kelak saat dewasa kebiasaan ini bisa tetap terjaga. Mereka akan merasa takut ketika harus berbohong apalagi jika melakukan kebohongan besar, seperti korupsi.
Untuk mengajarkan nilai kejujuran, selain dengan memberikan contoh langsung #KawanAksi juga bisa memanfaatkan berbagai media yang ada.
KPK menyediakan berbagai media yang bisa #KawanAksi manfaatkan, seperti film pendek, buku cerita bergambar, dan serial dengan tokoh boneka. #KawanAksi hanya perlu menyesuaikan media yang dipilih dengan usia anak.
Selain nilai kejujuran, dalam berbagai media tersebut anak juga bisa belajar berbagai nilai integritas lainnya yang tergabung dalam Jumat Bersepeda KK (Jujur, Mandiri, Tanggung jawab, Berani, Sederhana, Peduli, Adil, dan Kerja Keras).
Yuk, cek situsweb ACLC KPK untuk mendapatkan materi edukasi nilai-nilai integritas dan antikorupsi yang lain.[*]