Naik bajaj ke sekolah
Turun Mampang beli lotek
Hidup pengin bahagia
Kok situ masih suka nyontek
#KawanAksi sudah baca hasil Survei Penilaian Integritas Pendidikan 2022?
Gambaran survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut sangat miris. Praktik-praktik culas di sekolah hingga perguruan tinggi masih terjadi, bahkan dianggap biasa. Tampaknya praktik "membenarkan biasa, bukan membiasakan yang benar" sulit untuk diudari dan dibenahi.
Dalam survei itu, pengukuran indeks integritas terbagi dalam tiga dimensi, yaitu karakter, ekosistem, da kepatuhan tata kelola.
Dalam dimensi karakter, misalnya, responden siswa dan mahasiswa mengetahui bahwa menyontek atau plagiat adalah sesuatu yang salah, tapi praktik ini tetap dilakukan. Bahkan, sekitar 19 persen baik siswa maupun mahasiswa mengaku bingung apakah perilaku menyontek dapat dibenarkan.
Temuan lain, responden mengaku menyontek karena orang lain juga ikut melakukannya. Lalu, sebagian kecil responden masih berpandangan akan melakukan apapun (plagiasi/menyontek) untuk lulus atau memenuhi tuntutan tugas.
Sementara itu, dalam dimensi ekosistem, masih ditemukan praktik koruptif, di antaranya guru/dosen terlambat masuk ke kelas, guru/dosen mengakhiri kelas sebelum waktunya, guru tidak hadir tanpa alasan jelas, dan dosen/guru tidak memberikan sanksi tegas bagi siswa yang ketahuan menyontek/plagiasi.
Adapun dalam dimensi kepatuhan tata kelola, survei tersebut juga menunjukkan praktik koruptif, di antaranya pungutan liar, merekayasa dokumen, gratifikasi, proses pengadaan barang dan jasa tidak transparan, pemilihan vendor berdasarkan relasi pribadi, dan mark up biaya pengadaan barang dan jasa.
Perilaku koruptif
Perilaku koruptif atau tidak berintegritas seperti di atas sudah seharusnya disetop. Guru, siswa, dosen dan mahasiswa juga orangtua harus memulai budaya baru.
Bagaimana pun tindakan-tindakan curang adalah akar dari korupsi. Korupsi sendiri bukan hal baru dalam sejarah manusia. Tindakan menyimpang ini lahir berbarengan dengan umur manusia itu sendiri—ketika manusia bermasyarakat, di situlah awal terjadinya korupsi, demikian dalam buku Korupsi Mengorupsi Indonesia (Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan).
Meski secara khusus korupsi (corruption) condong berkaitan masalah penyelenggaraan negara, bukan berarti bibit-bibit laku amoral itu muncul begitu saja. Laku ilegal itu justru berawal dari pembiaran terhadap hal-hal koruptif atau tidak berintegritas, seperti ketidakjujuran, tidak tanggung jawab, manipulasi, mengakali aturan, dan lain-lain.
Oleh karenanya perilaku koruptif harus ditanggalkan. Anak-anak dididik agar menjalani kehidupan baik di sekolah maupun sosialnya sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku.
Anak-anak harus ditanamkan nilai-nilai dasar tentang integritas, seperti jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, disiplin, peduli, adil, dan kerja keras (jumat bersepeda KK).
Fenomena titip KK
Kecurangan di lingkup sekolah yang masih hangat akhir-akhir ini, misalnya, terkait dengan penerimaan siswa baru. Masalah penerimaan siswa ini selalu berulang tiap tahun. Banyak orangtua menginginkan anak-anaknya masuk ke sekolah favorit. Sampai-sampai, mereka rela melakukan tindakan curang, salah satunya, "titip kartu keluarga (KK)".
Fenomena "titip KK" ini menjadi sorotan dalam laporan Kompas.id, Jumat (14 Juli 2023). Laporan yang mengutip data temuan Ombudsman RI Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta ini menunjukkan bahwa praktik curang itu ternyata dilakukan oleh oknum aparatur sipil negara hingga polisi.
"Titip KK" sebetulnya sudah lama menjadi rahasia umum di masyarakat. Kejadian itu tak hanya di Yogyakarta saja, bahkan di beberapa kota/kabupaten juga permisif dengan hal itu. Orangtua menitipkan data pribadi anaknya pada KK keluarga lain yang berada di zonasi sekolah yang diinginkan.
Namun, modus lain yang baru-baru ini ditemukan yaitu menitipkan nama anak ke keluarga pengelola kantin sekolah. Penitipan anak ini bahkan terindikasi berjalan setahun atau dua tahun sebelum penerimaan siswa—syarat zonasi penerimaan siswa adalah sang anak berdomisili setidaknya setahun sesuai alamat tersebut.
Modus itu mengingatkan data Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) 2021, yaitu 27,23 persen responden menyebut ada praktik "mewajarkan" perilaku guru/dosen berkolusi untuk menerima jatah bagi orang lain diterima di sekolah/kampus tempat mengajar. Persentase itu naik dari tahun sebelumnya 26,43 persen. Lalu, ada temuan yang menganggap wajar memberi uang/barang/fasilitas kepada sekolah/kampus agar anaknya diterima.
Praktik-praktik tersebut contoh permisif terhadap nepotisme dan gratifikasi; perilaku koruptif yang seharusnya tak berjalan di lingkup sekolah.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pun menyebut bahwa orangtua yang curang sama halnya mengajarkan moral buruk kepada anak.
"Orangtua harus menyadari kalau sejak awal anak-anaknya sudah dididik dengan cara curang, ya itu nanti jadi calon koruptor," kata Muhadjir di Istana Kepresidenan, Kamis (13 Juli 2023) dikutip dari Katadata.co.id.
Latihlah dari hal-hal sederhana
Membincangkan integritas memang paling mudah, tapi sulit dari segi praktiknya. Namun, pengejawantahan nilai-nilai integritas itu bisa dilakukan dengan pembiasaan dari hal-hal kecil, di antaranya:
Jangan terlambat datang ke sekolah
Datang terlambat memang terlihat sepele. Tapi, indisipliner ini harus diberi sanksi. Siswa atau mahasiswa harus dibiasakan berbudaya disiplin sejak dini. Apalagi telat datang ke sekolah karena faktor bangun siang atau lalai–ini menunjukkan tindakan tak bertanggung jawab.
Jujur bayar jajan di kantin
Mengambil jajanan di kantin, tapi tidak membayar sesuai jumlah adalah laku koruptif. Selain berlaku tidak jujur, tindakan seperti ini juga dapat merugikan pihak lain, terutama penjual di kantin. Bukannya untung penjual malah bisa merugi.
Tidak membelanjakan uang SPP
Walau sebagian sekolah kini telah menerapkan sekolah gratis, ada juga yang masih memberlakukan pembayaran iuran sekolah atau SPP tiap bulan. Biasanya, uang bulanan ini dibayarkan di awal bulan dan orangtua terkadang menitipkan uang iuran itu kepada sang anak. Bukannya dibayarkan kepada sekolah, kadang masih ada murid yang sengaja membelanjakan uang SPP. Perilaku ini jelas tidak dibenarkan. Sang anak menyelewengkan amanat orangtua. Selain tak jujur, anak juga tak bertanggung jawab.
Tidak menyontek
Menyontek masih menjadi praktik umum di sekolah, padahal jelas-jelas bentuk kecurangan yang dapat mencederai nilai kejujuran. Apapun alasannya menyontek tidak diperbolehkan.
Tidak bolos sekolah
Siswa kadang ada yang membolos sekolah dan mengajak sejumlah temannya. Alasan di balik bolos, biasanya karena tidak suka dengan mata pelajaran, lupa mengerjakan tugas, dan lainnya. Apapun alasannya, tindakan ini jelas indisipliner, tidak jujur, tidak amanah, dan tidak bertanggung jawab.
Demikian beberapa hal kecil yang perlu diperhatikan dan disadari siswa atau mahasiswa–tak menutup juga bagi orangtua dan guru/dosen. Terpenting mulai dan cobalah untuk menghindari praktik culas atau curang.
Tanamkan dalam diri bahwa praktik baik akan memberikan dampak yang baik bagi diri sendiri dan orang lain, begitu pula sebaliknya. Dengan begitu, bibit-bibit korupsi bisa dibabat sejak dini.[]