INTEGRITAS menjadi salah satu pilar dalam struktur politik, ekonomi, dan sosial, serta menjadi landasan dalam pemerintahan dan organisasi yang menjunjung akuntabilitas dan transparansi.
Kenyataannya di lapangan, integritas begitu mudah diucapkan dan dihafalkan, tapi berat—bila tidak mau disebut sulit—diterapkan di lingkup pemerintahan, organisasi, dan masyarakat.
Pelanggaran integritas di semua sektor pemerintahan atau lembaga publik, misalnya, terjadi lantaran interaksi amoral antara penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil dengan swasta.
Sebagai sektor yang rentan korupsi dan salah urus, infrastruktur publik memerlukan pembudayaan laku dari orang-orang di dalamnya, yang tak sekadar baik, tapi juga komitmen atau konsisten terhadap kebijakan yang ditetapkan. Di sinilah, integritas publik sangat penting diciptakan, dihunjamkan, dan dilestarikan di sebuah institusi publik.
Apa itu integritas publik?
Integritas publik merujuk sikap keselarasan yang konsisten, sekaligus kepatuhan terhadap nilai-nilai etika bersama, prinsip, dan norma di lembaga publik demi menjunjung tinggi dan memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, integritas publik mencakup:
- melakukan hal yang benar meski tidak ada orang yang melihat
- menempatkan kepentingan publik atau umum di atas kepentingan pribadi, dan
- melaksanakan tugas atau pekerjaan sesuai dengan standar pengawasan publik. Artinya, jika kelak tindakan kita disorot oleh pers, khalayak akan menilai kita melakukan tindakan yang benar berdasarkan informasi didapat sebelumnya.
Definisi tersebut diterbitkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)—sebuah organisasi antarpemerintah berpusat di Paris dan beranggotakan 38 negara yang berkomitmen terhadap demokrasi dan ekonomi pasar—dalam OECD Recommendation on Public Integrity.
Terdapat tiga pilar yang direkomendasikan oleh OECD agar pembuat kebijakan atau pemegang kekuasaan membentuk cetak biru strategi integritas publik. OECD menyebut pendekatan ini menekankan penanaman budaya di segala sektor.
Tiga pilar tersebut mencakup:
Sistem – bagaimana sebuah organisasi memiliki sistem yang andal untuk mengurangi perilaku-perilaku culas, koruptif, dan tidak berintegritas.
Kultur –berani mengubah kultur sebuah organisasi. Tinggalkan budaya lama yang koruptif agar praktik-praktik KKN tidak lagi diterima secara sosial.
Akuntabilitas – menciptakan lingkungan organisasi yang membuat setiap orang bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Siapa penanggung jawab integritas publik?
Sederhananya, korupsi adalah mencuri uang negara—uang yang berasal dari rakyat—oleh pejabat atau pemegang kekuasaan. Praktik semacam ini sudah pasti melahirkan dampak buruk, seperti ketidakpuasan publik, polarisasi politik, kurangnya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah, dan tentu secara luas, kesejahteraan masyarakat yang menjadi cita-cita bersama sulit tercapai.
Makanya, kultur koruptif adalah penyakit paling korosif di tubuh instansi publik dan perusahaan di zaman sekarang. Namun, memberantasnya dengan pendekatan tradisional, seperti pembuatan banyak aturan, kepatuhan, dan penegakan yang lebih ketat masih memiliki efektivitas terbatas.
OECD menuturkan langkah strategis dan berkelanjutan untuk memerangi korupsi haruslah dengan membangun: integritas publik. Konsep strategis ini boleh jadi lebih menitikberatkan pada fungsi edukasi dan pencegahan—dua sula pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia.
Dalam alam buku panduan integritas publik yang diterbitkan pada 12 Maret 2020 disebutkan, "Integritas publik, pertama dan terutama adalah tanggung jawab dari pemerintah," tulis OECD.
Oleh karenanya, OECD menyarankan, langkah strategis dan berkelanjutan harus melintasi semua batas yurisdiksi – integritas tidak hanya menjadi perhatian pemerintah nasional, tetapi juga harus meresap ke pemerintah daerah, di mana tiap-tiap individu merasakan secara langsung praktik integritas di instansi-instansi publik.
Di sisi lain, strategi berkelanjutan juga harus melibatkan perusahaan, organisasi masyarakat sipil, dan individu-individu.
Kematangan integritas publik
Pemerintah baik pusat maupun daerah, termasuk organisasi publik bisa mengidentifikasi tingkat maturitas atau kematangan integritas publik yang dibangun. Model kematangan ini bisa menjadi praktik baik dan terbagi dalam sejumlah kategori: kondisi awal (nascent), berkembang (emerging), mapan (established), dan utama (leading).
OECD memberikan contoh bagaimana mengukur tiga pilar integritas publik. Bisa dicek di sini.
Dari tiga pilar integritas publik, sebetulnya masing-masing pilar terbagi –bagi lagi dalam beberapa unsur. Unsur-unsur yang membentuk pilar sistem, misalnya, lain komitmen, tanggung jawab, strategi, dan standar.
Lalu, unsur pembentuk pilar kultur, yaitu peran seluruh masyarakat, kepemimpinan, berbasis prestasi (merit-based), kapasitas, dan transparansi.
Terakhir, pilar akuntabilitas mencakup unsur-unsur, seperti partisipasi, manajemen risiko, penegakan, dan pengawasan.[]