POLITIK UANG LAHIRKAN KARAKTER PEMIMPIN KORUP.
WARUNG Mak Idah selalu ramai di saban sore. Gorengan ialah menu yang ditunggu orang-orang di Kampung Sukaceria. Seperti nama kampungnya, warganya pun penuh ceria di raut mukanya.
Badil menuangkan kopi di lepek (coaster), uap panasnya terlihat jelas mengepul. Hawa dingin memang cocok dengan gorengan dan kopi. Dicomotnya pisang goreng yang baru saja turun dari penggorengan.
"Empat hari lagi ya. Kok masih sepi-sepi saja," Badil membuka obrolan.
"Tak biasa memang. Ada KPK, sih" seloroh Wawan.
"Ah, bodo amat. Di zaman sekarang, kita butuh ini," Badil menggesekkan jari-jarinya. “Mereka cari kursi, kita-kita ini yang di bawah juga butuh makan sehari-hari.”
Orang di sekitarnya tahu arah perbincangan Badil: uang dan sembako dari parpol atau para caleg.
"Sejak Pak Karim ditangkap KPK, pilkada kali ini lain dari sebelumnya. Clean," tutur Wawan.
Mak Idah mengiyakan omongan Wawan. Semua yang di warung itu memahami betul kejadian penangkapan Karim yang terjerat korupsi.
Penangkapan Bupati Karim karena imbas dari bagi-bagi uang saat dirinya maju pilkada. Karim terjerat utang dari bohir-bohir yang mendukungnya. Saat menjabat sebagai bupati, ia memerintahkan agar kolega bohir-bohir itu bisa mendapatkan proyek dinas. Ini sebagai balas budi selama kampanye. Begitu berita santer yang terungkap di persidangan yang lalu dan viral di HP-HP warga Sukaceria.
Cerita Karim dan warga Sukaceria di atas adalah fiksi belaka. Tapi, di dunia nyata, kejadian mirip-mirip seperti itu pernah ada. Beberapa kali aparat hukum menangkap bagaimana kepala daerah terjerat korupsi sebab praktik balas budi dari pemodal kampanye politiknya.
Ucapan Badil menyangkut uang adalah praktik yang jamak dilakukan partai-partai politik atau para caleg di Indonesia. Politik transaksional dalam elektoral atau politik uang (money politic) ini “membudaya” di Indonesia sejak orde baru hingga kini. Orang-orang sering menyebutnya "serangan fajar".
Serangan fajar adalah beli suara
"Serangan fajar" adalah pemberian atau distribusi imbalan baik berupa uang atau barang kepada para pemilih menjelang pencoblosan baik pilkades, pilkada, pileg, atau pilpres. Ada saja kedok yang dipakai, misalnya ongkos transportasi, uang rokok, uang ganti upah kerja harian, dan lain-lain.
Disebut "fajar" lantaran pembagian barang atau uang itu seringkali dilakukan sewaktu dini hari atau subuh hari, beberapa jam sebelum pemilih menuju TPS. Istilah “serangan fajar” adalah berasal dari kalangan militer. Tentara biasanya menyergap dan menguasai daerah target secara mendadak di pagi buta. Karena serangan fajar ini biasanya relatif berhasil. Untuk itulah, praktik serangan itu diadopsi di pemilihan oleh mereka yang culas.
Malpraktik pemilu atau pilkada tersebut dilakukan kandidat atau mesin partai politik menyasar dua jenis pemilih yaitu pemilih inti (core voter) dan pemilih mengambang (swing-voter). Kebanyakan praktik serangan fajar menyasar swing-voter karena partai-partai tak ingin menyia-nyiakan uang hanya untuk pemilih loyal atau inti. Mereka cenderung mendekati pemilih mengambang.
Praktik tersebut seringkali disebut sebagai “klientelisme elektoral” sebagai distribusi imbalan material kepada pemilih saat pemilu saja.
Politik uang yang berjalan selama ini, maaf, mirip “kentut”. Baunya terhirup jelas, tapi sumbernya sulit diidentifikasi. Banyak kajian politik uang, kata Burhanudin Muhtadi dalam buku Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (2020), sekadar bersandar pada bukti anekdotal atau bersumber dari rumor dan klaim yang tidak terbukti. Akibatnya, tak banyak yang diketahui secara pasti tentang jumlah pemilih yang benar-benar menjual di Indonesia.
Yang jelas, serangan fajar adalah praktik kotor di kala pemilihan yang masih sulit dihapuskan di Indonesia. Mereka yang membagikan uang itu berkepentingan agar penerima imbalan mau memilih kandidat tertentu. Mengarahkan pemilih untuk beralih ke calon pemimpin atau calon legislatif yang ditentukan. Pendek kata, serangan fajar adalah membeli suara rakyat atau pemilih.
Serangan fajar adalah pengkhianatan
Di sebagian masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah istilah “ndaru”. Seorang pemimpin adalah anugerah Tuhan dan mereka yang terpilih secara benar telah mendapatkan pertanda atau ndaru. Maka, jabatan pemimpin yang diraih dengan menyogok rakyatnya, pemerintahannya tak bakal berjalan dengan mulus, selalu ada saja aral rintangannya. Mengapa?
Karena, praktik pembelian suara atau pemanfaatan praktik uang dalam elektoral bakal memicu praktik negatif pemenangnya. Pemerintahan yang dijalankan oleh pemimpin yang curang bakal melahirkan pelayanan tidak berkah. Menguntungkan orang-orang tertentu. Menyalahgunakan kekuasaan untuk segelintir golongan. Akhirnya, tujuan dari kesejahteraan masyarakat tidak tercapai.
Jelas, serangan fajar adalah bentuk ketidakkejujuran. Serangan fajar adalah bentuk ketidakadilan. Serangan fajar adalah merusak demokrasi. Dan, serangan fajar adalah bentuk dari pengkhianatan terhadap nilai-nilai integritas.
Setop. Jika Anda masih menunggu “serangan fajar”, artinya Anda turut berkontribusi pada terbentuknya birokrasi yang buruk—lebih jauh, Anda juga menciptakan pemimpin amoral. Maka, setop serangan fajar. Setop imbalan apa pun yang mempengaruhi pemilihan.
Praktik vote buying seperti itu, tentu saja tidak dibenarkan secara moral. Sayangnya, survei Charta Politika pada 2019, sebanyak 45,6 persen responden memaklumi adanya praktik politik uang.
Tolak politik uang
Politik uang akan memunculkan pemimpin yang hanya peduli pada kepentingan pribadi dan bukan kepentingan rakyatnya.
Proses pemilu yang digelar secara jurdil dan luber diharapkan sebagai pintu utama untuk memilih pemimpin yang bersih dan amanah. Maka dari itu, jika ada calon pemimpin yang memberikan “serangan fajar” kita harus bisa menolaknya. Anda menolak serangan fajar, artinya benih-benih korupsi, kolusi, dan nepotisme itu bisa dicegah sedini mungkin.
Jadikan, serangan fajar adalah praktik masa lalu, biarkan terkubur pada zaman sebelumnya. Bentuklah zaman sekarang dan ke depan dengan budaya baru.
Jadilah, pemilih yang berintegritas dan berkarakter. Karena, siapa tahu kelak Anda-lah pemimpin bangsa ini.
Hajar serangan fajar![]