Tidak dipegang sendiri, nilai integritas Artidjo juga dirasakan dan ditularkan kepada orang-orang di sekelilingnya, termasuk Tauvan. Sikap Artidjo yang selalu menghargai orang lain telah menjadi contoh dan mengubah Tauvan.
"Saya jadi lebih menghargai orang lain dan tidak masa bodo dengan pekerjaan. Beliau selalu berpesan, bekerjalah dengan tekun dan lurus, maka akan selamat dunia akhirat," kata Tauvan.
Hal yang sama dirasakan oleh Briptu Teguh Arif Munandar, mantan ajudan Artidjo. Dia mengatakan, Artidjo adalah seorang yang pendiam dan lemah lembut terhadap orang lain. Padahal ketika ditugaskan menjadi ajudan Artidjo, Teguh sempat mengaku khawatir akan mendapatkan atasan yang galak.
"Bayangan saya, Bapak orangnya seram, karena ketika wawancara di televisi terdengar ketus. Ternyata suaranya pelan ketika ngomong ke bawahan," kata Teguh kepada ACLC.
Teguh ditugaskan untuk mengurus semua kebutuhan Artidjo ketika menjabat Dewas. Tapi ternyata, mantan hakim kelahiran Sumenep itu malah justru "mempersulit" tugasnya. Artidjo melakukan hampir semuanya sendiri, dia tidak mau merepotkan orang lain. "Sebetulnya beliau berhak menyuruh saya apapun, karena status saya ajudan. Tapi selama bisa di-handle sendiri, beliau akan meng-handle-nya sendiri. Saya jadi sungkan," ujar Teguh.
Teguh mengenang Artidjo sebagai sosok yang rendah hati namun sangat tegas. "Kalau dia bilang A ya A, B ya B," kata dia.
Artidjo juga sangat perhatian dengan orang-orang di sekelilingnya. Tauvan mengatakan, setiap kali Artidjo ke pasar, dia selalu disapa oleh tukang parkir, satpam, atau tukang buah. Artidjo, lanjut Tauvan, juga tidak rela jika dia makan sendirian, sementara pegawainya belum makan.
"Beliau bilang 'saya makan, kamu makan'. Bahkan kadang makan di pecel lele berdua. Diam-diam beliau suka bungkusin untuk keluarga saya di rumah," kata Tauvan.
Selama bekerja untuk Artidjo, Tauvan hanya pernah dimarahi sekali. Ketika itu, mobil Artidjo diserempet orang. Tauvan marah, meminta pertanggungjawaban. Tapi bukannya mendukung, Artidjo malah justru memarahi Tauvan. "Cuma itu sekali-kalinya beliau marah ke saya. Saya diomelin, beliau bilang yang penting kita selamat," kata Tauvan.
Padahal, itu adalah mobil satu-satunya Artidjo, sebuah Nissan Grand Livina tahun 2014 bekas yang terpaksa dibelinya ketika menjabat Dewas KPK. Selama ini Artidjo tidak punya kendaraan, kemana-mana naik ojek, taksi atau diantar keponakannya.
"Saya melihat hakim-hakim lain punya Mercy, Alphard, beliau beli Grand Livina second. Ada karyawan yang sampai malu karena mobilnya ternyata lebih mahal dari pada mobil Bapak," ujar Tauvan.