Apa yang muncul dalam benak kita ketika mendengar kata “Korupsi”?, bisa jadi perbuatan yang jahat, perbuatan keji, berkhianat, mencuri uang rakyat, atau penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Semua kata-kata itu sepertinya belum cukup menggambarkan betapa kejamnya perilaku korupsi. Tentunya bukan tanpa landasan, karena segala bentuk perilaku dan praktik korupsi adalah pelanggaran HAM yang ingkar terhadap amanah, tanggung jawab dan juga keadilan.
Istilah korupsi telah begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia, sering digaungkan, menuntut pemerintah agar negara bebas korupsi dan mencapai puncaknya di masa orde baru. Saat itu, sistem kekuasaan dilakukan secara terpusat sehingga memicu terjadinya korupsi yang merajalela karena kebijakan negara hanya menguntungkan penguasa dan orang-orang terdekatnya. Bahkan sampai saat ini, korupsi masih menjadi momok kejahatan luar biasa bagi bangsa Indonesia.
Usia korupsi sama tuanya dengan sejarah peradaban manusia. Dari catatan sejarah yang bisa kita temukan di beberapa literatur, di masa dinasti pertama Mesir kuno mencatat korupsi dalam peradilannya di tahun 3100-2700 sebelum masehi. Kala itu pejabat mengambil keuntungan dari harta rakyatnya terutama di masa Ramses II, Ramses IX dan Ramses XI. Apa yang terjadi ketika itu? Mesir Kuno hancur akibat politik yang kacau dari korupsi yang terlanjur merajalela.
Bukan hanya Mesir Kuno. Kekaisaran Romawi yang begitu kuat dan tangguh juga runtuh akibat korupsi yang tidak dapat terbendung lagi.
Ibarat penyakit, korupsi dapat terus menggerogoti keuangan negara dan mampu menghancurkan negara. Memang tidak akan langsung hancur begitu saja. Perlahan tapi pasti , korupsi akan membuat negara miskin karena dana yang seharusnya ditujukan untuk pembangunan, memajukan kesejahteraan rakyat akan terus menerus tergerus, terkuras habis oleh si pelaku korupsi ini. Indonesia bisa mengalami hal yang sama dengan nasib Mesir Kuno dan Romawi kuno jika korupsi terus dibiarkan, menjalar, bertumbuh subur tidak hanya di pemerintahan, tapi juga di lingkungan masyarakat. Hancur, dan menyeramkan jika harus membayangkannya lebih dalam.
Bentuk dari perilaku korupsi diantaranya, penyuapan, pemerasan dan gratifikasi. Gratifikasi dapat disebut sebagai akar dari korupsi karena pemberian gratifikasi berpotensi memiliki tujuan terselubung untuk menarik perhatian, tanam budi atau simpati yang bisa mendorong seseorang berlaku tidak objektif/profesional. Kenapa terselubung? Karena ditagihnya kapan-kapan, bukan saat pemberian tersebut diberikan. Contohnya ketika penyelenggara negara menerima parsel saat hari raya dari sebuah perusahaan sebagai bentuk terima kasih atas kerjasamanya. Ini sudah berkaitan dengan jabatan dan bersifat tanam budi, tidak ada kesepakatan dan berhubungan dengan jabatan karena rentan dengan terjadinya penyelewengan kekuasaan dan wewenang dari seorang pejabat negara.
Dalam hidup, agama sebagai penopang hidup kita dan tidak satupun agama yang menoleransi gratifikasi dalam bentuk apapun. Sebagai pemeluk agama yang taat akan ajaran-ajarannya tentunya kita memahami bahwa kita tidak mau menjadi umat berdosa yang hanya memenuhi hawa nafsu duniawi saja.
Dalam agama Islam, dikenal praktik pemberian hadiah kepada sesama untuk mempererat hubungan silaturahmi dan menumbuhkan rasa kasih sayang. Dalam ketentuan syariat Islam, mengajarkan ketentuan pemberian hadiah dapat dilakukan dengan latar belakang sosial tanpa ada tujuan komersial. Seperti contohnya memberi hadiah kepada saudara yang bekerja sebagai PNS hanya untuk kepentingan silaturahmi keluarga tanpa memandang jabatannya. Namun, sebagai PNS tetap harus waspada memastikan bahwa pemberian tersebut bukan karena unsur jabatan/kewenangannya.
Namun, akan berbeda hukumnya ketika pemberian hadiah ada unsur terselubung, yang berkaitan dengan jabatan, memicu sikap tidak objektif dan tidak profesional di kemudian hari, sehingga pemberian hadiah ini dikategorikan sebagai gratifikasi.
Status hukum menerima gratifikasi, adalah haram dan termasuk dosa besar, berapapun nominalnya. Beberapa ayat Al-Quran dan hadis telah menggambarkan bahwa Islam menentang pemberian gratifikasi dan penerimaannya atau praktik pemberian hadiah yang terkait dengan jabatan. Seperti yang tertuang dalam surat Al-Baqarah (188) :
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil (tidak benar) dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat dosa), padahal kamu mengetahui.”
Para pelaku gratifikasi tidak hanya diganjar hukuman pidana pada duniawi saja, tapi juga harus siap menanti hukuman di akhirat yang berbentuk siksaan neraka.
Ajaran Kristen juga mengajarkan hal yang sama. Paulus mengatakan bahwa cinta uang lah yang menjadi landasan orang menerima gratifikasi dengan mereka yang ingin cepat kaya dengan segala cara. Tuhan Allah sangat menentang hal ini yang dalam firmannya (keluaran 23:8) membuat buta mata dan memutar balikkan perkara orang yang benar”. Memang benar, tidak dipungkiri merasa senang dengan menerima hadiah atau barang gratis dari seseorang. Namun ini tidak sejalan dengan iman dan kehendak Allah. Allah ingin umatnya hidup dalam berkat Nya bukan kaya dengan melegalkan segala cara dan ingin kehidupan berhasil sesuai kehendakNya (Yosua 1:8). Tuhan itu memberikan umatnya kekuatan untuk berhasil dan umatnya harus yakin akan hal itu.
Tidak berbeda dengan ajaran Katolik, yang mengajarkan hukum kasih kepada tuhan dan sesama manusia, kasih kepada sesama manusia dapat diwujudkan dengan memberikan sesuatu kepada seseorang yang sangat membutuhkan seperti kaum lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Untuk memberikan kepada sesama tidak diukur dari berapa besar nilai pemberian itu, tetapi diukur dari ketulusannya dan sesuai kemampuannya.
Ajaran agama Katolik menentang gratifikasi bagi umatnya. Dalam gratifikasi, memang seolah-olah adalah pemberian yang tulus, tanpa adanya balas budi, namun di kemudian hari bisa saja menimbulkan perilaku atau perlakuan yang berbeda. Sebagai contoh, memberikan hadiah kepada mitra kerja dan berhubungan dengan jabatannya, yang jelas ini ada unsur gratifikasi karena dapat mempengaruhi sikap profesionalisme suatu saat nanti.
Yesus tidak mengatakan bahwa orang-orang yang korup adalah para pendosa, tetapi Ia mengatakan mereka adalah orang-orang yang munafik.
Sedangkan dalam pandangan agama Buddha, si pemberi gratifikasi dinilai memiliki sifat keserakahan dan mempunyai sebuah harapan akan balas budi yang membuat keterikatan kepada si penerima. Maka, agama Buddha juga sangat menentang perilaku gratifikasi ini. Pemeluk Buddha menganut Ajaran yang berlaku konsep hukum karma, jadi siapa yang menanam kebaikan akan memetik buah kebahagian dan menanam kejahatan maka akan memetik buah penderitaan. Jadi, siapapun dia yang melakukan korupsi dalam bentuk apapun, maka ia akan menerima penderitaan dalam hidupnya. karena perbuatan yang kita lakukan baik atau buruk harus dipertanggung jawabkan. Bahkan untuk segala kesalahan yang telah diperbuat, maka tidak akan bisa ditebus dengan hanya permohonan maaf atau pemandian badan agar terbebas dari dosa. Maka pengikut Buddha harus berhati-hati agar tidak terjerumus dalam jurang dosa.
Dalam ajaran Hindu, juga menentang tindakan gratifikasi. Perilaku korupsi adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan darma (ajaran kebenaran, pandangan hidup, atau tuntunan hidup manusia). Dalam mencari penghidupan, baik berupa harta ataupun memenuhi keinginan & kebutuhan, pemeluk agama Hindu tidak boleh menyimpang dari darma. Perbuatan seperti menerima gratifikasi, yang merugikan orang banyak, melanggar norma hukum dan norma agama. Hal ini sangat dilarang oleh ajaran Hindu tidak ada manfaatnya bagi kehidupan.
Gratifikasi juga tidak diperkenankan dalam Ajaran Agama Khonghucu. Agama Khonghucu mengajarkan umatnya untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai yang memuliakan hubungan dengan sesama manusia atau menjaga hubungan baik berlandaskan kebajikan dan ketulusan.
“Tiap benda itu mempunyai pangkal dan ujung, dan tiap perkara itu mempunyai awal dan akhir. Orang yang mengetahui mana yang perlu didahulukan dan mana yang boleh dikemudiankan, ia sudah dekat dengan Jalan Suci." (Daxue Utama : 3).
Jadi, ketika memberikan bantuan atau pemberian, ini adalah sebagai bentuk murah hati, ketulusan dan rasa syukur karena memiliki kesempatan untuk membina hubungan baik dengan sesama manusia, Namun pemberian ini tidak ada sisipan rasa pamrih yang di dalamnya ada faktor kepentingan.
Dari keenam pandangan ajaran agama, dapat ditarik simpulan bahwa semua agama memandang hal yang sama, tidak ada yang membenarkan segala bentuk perilaku korupsi baik itu suap atau gratifikasi dan tindakan lainnya. Korupsi memang menjadi kejahatan yang sulit sekali terungkap, sehingga dapat membuat/menimbulkan pembusukan. Tapi suatu saat kejahatan ini akan terbongkar dan pelaku harus menempuh hukuman yang setimpal. Kita tentunya tidak ingin Indonesia hancur oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Mulai lah dari diri kita sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar, menjauhkan diri dari praktik korupsi. Dengan dilandasi kuatnya iman disertai pemahaman terhadap ajaran agama, juga selalu jujur pada diri sendiri dan orang lain, mengedepankan nilai-nilai integritas, kita junjung tinggi antikorupsi di Indonesia. #BerawaldariKita
Pelajari lebih lanjut perspektif agama dan korupsi di https://aclc.kpk.go.id/pustaka/sosial-budaya.
Kita juga dapat mengukur seberapa besar pengetahuan kita terhadap kasus korupsi dan cara melawan korupsi yang terjadi di Indonesia. Ikuti kuisnya di link https://aclc.kpk.go.id/survey-soskam/quiz.